Masyarakat kampung kami terbiasa melakukan akad gadai,  yang mana barang/apa saja yang digadaikan bisa dipakai sesuka hati dan tanpa  batas waktu oleh penerima gadai sebelum utang dilkunasi. Contoh: Pak Karim  mempunyai satu petak sawah, karena dia butuh uang maka sawahnya digadaikan  kepada bapak Haji Asep. sebelum Pak Karim bisa melunasi hutangnya kepada bapak.  H Asep, maka sawah tersebut digarap terus oleh H Asep tanpa kenal  waktu.
Pertanyaan: 1) Sahkah akad gadai di atas? 2) Jika tidak, bagaimana  solusinya, mengingat hal itu sudah menjadi adat?
Moch. Abu Qomar,  aboeqomar@ymail.comJAWAB:
Apabila penggarapan sawah  oleh H. Asep sebagai penerima gadaian (murtahin) tidak disyaratkan dalam akad,  maka terjadi perbedaan di kalangan ulama: Menurut sebagian ulama gadai seperti  itu termasuk bagian dari riba, sebab kebiasaan yang sudah berlaku di kalangan  masyarakat itu posisinya sama dengan syarat, berarti sama dengan menyaratkan  dalam akad. Dalam sebuah Hadits dijelaskan bahwa setiap akad hutang piutang yang  menarik sebuah kemanfaatan maka dianggap riba, demikian juga praktek dalam  pertanyaan ini.
Sedangkan menurut pendapat Imam Ramli tidak dianggap  riba, sebab kebiasaan masyarakat tidak diposisikan sama dengan  syarat.
Perbedaan hukum di atas adalah murni dari kacamata fikih. Apabila  kita memandang dari kacamata tasawuf maka sebaiknya jangan dilakukan, meskipun  masih ada pendapat yang memperbolehkan. Imam Abu Hanifah tidak mau berteduh di  bawah pohon orang yang berhutang pada Beliau, karena kawatir termasuk mengambil  kemanfaatan dari hutang tersebut.
Lihat: Raudhatut-Thâlibîn, I/477