Jumat, 26 Oktober 2012

Mengqodho’i Shalat Orang Mati


Adakah keterangan yang memperbolehkan orang hidup mengqodho’i shalatnya orang yang telah meninggal dunia?
Umar Fauzih, umarfauzih@yahoo.com


JAWAB:

Shalat merupakan ibadah yang dilakukan seorang hamba secara pribadi langsung dengan Allah Sang Pencipta. Maka pertanggungjawabannya kepada Allah jelas harus secara pribadi juga.


Mengenai shalat yang pernah ditinggalkan oleh orang yang mati, maka tidak ada kewijaban qodho’ bagi ahli warisnya. Mereka juga tidak berkewajiban menebusnya dengan harta yang ditinggalkan mayyit.

Namun sebagian ulama Syafi’iyah ada yang berpendapat bahwa shalat yang ditinggalkan si mayit boleh diqodho’i oleh ahli warisnya; baik si mayit telah berwasiat akan hal itu sebelum meninggal dunia atau tidak. Atau ahli waris bisa mengganti dengan membayar fidyah satu mud (675 gram) untuk setiap shalat yang ditinggalkan si mayit.

Pendapat di atas dha’if (lemah) dan hanya boleh diamalkan sendiri, tidak untuk difatwakan kepada orang lain.

Lihat: I’anatuth-Thalibin, I/24; Hasyiyatul Bujairami, II/83.

==
Abdulloh Munawwir
Editor: Moh. Yasir

Hukum Merebonding Rambut

Ust. Bagaimana hukumnya merebonding rambut?
Moch Yusrin, mochyusrin@yahoo.com


JAWAB:

Merebonding rambut termasuk perbuatan mengubah penciptaan (taghyîrul-khilqah) yang dilarang, kecuali bila dikerjakan oleh seorang istri untuk menyenangkan suaminya dan tentunya mendapat izin dari suaminya.
Lihat: Nihayatul-Muhtaj, II/128.

Burung Bersuara Merdu untuk Lomba

Bagaimana hukumnya membeli atau menjual burung karena bunyinya bagus untuk dibuat lomba? Mohon jawabannya!
Mahrus, mahrus.ali23@yahoo.co.id


JAWAB:
Mengenai penjualan burungnya tidak bermasalah atau sah-sah saja, namun karena pembelian tadi dikarenakan ada tujuan untuk dibuat lomba (taruhan) yang hukumnya haram maka hukum transaksinya haram, maksudnya, transaksinya tetap sah tapi haram.
Lihat: Fathul Muin.

Akad Gadai yang Benar

Masyarakat kampung kami terbiasa melakukan akad gadai, yang mana barang/apa saja yang digadaikan bisa dipakai sesuka hati dan tanpa batas waktu oleh penerima gadai sebelum utang dilkunasi. Contoh: Pak Karim mempunyai satu petak sawah, karena dia butuh uang maka sawahnya digadaikan kepada bapak Haji Asep. sebelum Pak Karim bisa melunasi hutangnya kepada bapak. H Asep, maka sawah tersebut digarap terus oleh H Asep tanpa kenal waktu.

Pertanyaan: 1) Sahkah akad gadai di atas? 2) Jika tidak, bagaimana solusinya, mengingat hal itu sudah menjadi adat?

Moch. Abu Qomar, aboeqomar@ymail.com


JAWAB:

Apabila penggarapan sawah oleh H. Asep sebagai penerima gadaian (murtahin) tidak disyaratkan dalam akad, maka terjadi perbedaan di kalangan ulama: Menurut sebagian ulama gadai seperti itu termasuk bagian dari riba, sebab kebiasaan yang sudah berlaku di kalangan masyarakat itu posisinya sama dengan syarat, berarti sama dengan menyaratkan dalam akad. Dalam sebuah Hadits dijelaskan bahwa setiap akad hutang piutang yang menarik sebuah kemanfaatan maka dianggap riba, demikian juga praktek dalam pertanyaan ini.

Sedangkan menurut pendapat Imam Ramli tidak dianggap riba, sebab kebiasaan masyarakat tidak diposisikan sama dengan syarat.

Perbedaan hukum di atas adalah murni dari kacamata fikih. Apabila kita memandang dari kacamata tasawuf maka sebaiknya jangan dilakukan, meskipun masih ada pendapat yang memperbolehkan. Imam Abu Hanifah tidak mau berteduh di bawah pohon orang yang berhutang pada Beliau, karena kawatir termasuk mengambil kemanfaatan dari hutang tersebut.

Lihat: Raudhatut-Thâlibîn, I/477

Agen pulsa all operator

 SUPER TELKOMSEL PROMO ======================= 🍒 TMP5 = 4.975 🍒 TMP10 = 9.975 SUPER INDOSAT PROMO =============== 🧀 IMS5 = 5.395 🧀 IMS10...