Tampilkan postingan dengan label renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label renungan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 September 2012

Secangkir Kopi

Setiap hari setelah bangun tidur dan sebelum memulai kegiatan sehari, aku pasti
menyiapkan secangkir kopi. Secangkir kopi yang kental dan pahit. Ketika
kerongkonganku dibangkitkan oleh pahitnya kopi kental, isi kepalakupun seakan
terlonjat bangun. Tanpa kopi hidupku serasa mati.

Ketika minum kopi aku berpikir; 'Hidupku pun kadang butuh secangkir kopi. 'Ia butuh
pengalaman pahit. Ia harus melewati kegetiran hidup, agar aku bisa
mempertimbangkannya secara lebih matang dan mendalam, agar aku bisa mengambil
langkah baru dan memberi nilai baru. Hanya dengan itu aku bisa menjadi lebih gigih
dan kuat.
Karena itu temanku... janganlah mengeluh saat menghadapi berbagai jenis kepahitan.
Jadikanlah itu tepung kopi unggul, yang dimasak oleh pikiran yang matang untuk
menghasilkan secangkir kopi kental. Pahit tapi ahh.... enaknya...
Hemmm....sambil menikmati kopiku, kunikmati pula hidup ini.

Kamis, 23 Agustus 2012

air mendidih

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan
mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana
menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya
setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.
Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan
menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh
wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di
panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam
dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah.
Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di
mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan
menuangkan kopi di mangkuk lainnya.
Lalu ia bertanya kepada anaknya, "Apa yang kau lihat, nak?" "Wortel, telur, dan kopi"
jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel
itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu
memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia
mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk
mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.
Setelah itu, si anak bertanya, "Apa arti semua ini, Ayah?" Ayahnya menerangkan bahwa
ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing
menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus,
wortel menjadi lembut dan lunak.
Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa
cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.
Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air,
bubuk kopi merubah air tersebut. "Kamu termasuk yang mana?," tanya ayahnya.
"Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu
wortel, telur atau kopi?"
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi
dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan
kehilangan kekuatanmu.
Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang
dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan
menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit
dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?
Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang
menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat
Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu
seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi
semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.

air mendidih

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan
mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana
menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya
setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.
Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan
menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh
wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di
panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam
dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah.
Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di
mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan
menuangkan kopi di mangkuk lainnya.
Lalu ia bertanya kepada anaknya, "Apa yang kau lihat, nak?" "Wortel, telur, dan kopi"
jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel
itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu
memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia
mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk
mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.
Setelah itu, si anak bertanya, "Apa arti semua ini, Ayah?" Ayahnya menerangkan bahwa
ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing
menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus,
wortel menjadi lembut dan lunak.
Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa
cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.
Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air,
bubuk kopi merubah air tersebut. "Kamu termasuk yang mana?," tanya ayahnya.
"Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu
wortel, telur atau kopi?"
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi
dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan
kehilangan kekuatanmu.
Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang
dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan
menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit
dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?
Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang
menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat
Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu
seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi
semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.

Garam & Telaga


Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang
anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka
yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang
bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam,
dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam
gelas, lalu diaduknya perlahan.
"Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit
tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam
hutan dekat tempat tinggalnya.
Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga
yang tenang itu. Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam
telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta
riak air, mengusik ketenangan telaga itu.
"Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu,
Pak Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya.
"Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi.
"Tidak", jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu
mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. "Anak muda,
dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak
kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. "Tapi,
kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.
Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu
semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan
kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah
dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan
itu." Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya.
Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu
meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si
orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain,
yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa

Garam & Telaga


Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang
anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka
yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang
bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam,
dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam
gelas, lalu diaduknya perlahan.
"Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit
tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam
hutan dekat tempat tinggalnya.
Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga
yang tenang itu. Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam
telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta
riak air, mengusik ketenangan telaga itu.
"Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu,
Pak Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya.
"Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi.
"Tidak", jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu
mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. "Anak muda,
dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak
kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. "Tapi,
kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.
Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu
semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan
kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah
dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan
itu." Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya.
Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu
meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si
orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain,
yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa

Agen pulsa all operator

 SUPER TELKOMSEL PROMO ======================= 🍒 TMP5 = 4.975 🍒 TMP10 = 9.975 SUPER INDOSAT PROMO =============== 🧀 IMS5 = 5.395 🧀 IMS10...