Tampilkan postingan dengan label Masail Diniyyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masail Diniyyah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 September 2012

QADLA’ SHALAT


Sholat yang ditinggalkan karena lupa atau ketiduran wajib diqadla' sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alayhi wasallam :
" من نسي صلاة فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك "  رواه مسلم
Maknanya : "Barang siapa lupa tidak melakukan sholat tertentu maka laksanakanlah jika ia ingat, tidak ada tanggungan atasnya kecuali qadla' tersebut" (H.R. Muslim)

Dalam redaksi lain, Rasulullah bersabda :
" من نسي صلاة أو نام عنها فكفارتها أن يصليها إذا ذكرها "  رواه مسلم
Maknanya: "Barang siapa lupa tidak melakukan sholat tertentu atau tertidur maka kaffarahnya adalah melaksanakannya jika ia ingat" (H.R. Muslim)

            Jika sholat yang ditinggalkan karena lupa atau ketiduran wajib diqadla' apalagi sholat yang ditinggalkan dengan sengaja lebih wajib diqadla'. Ini juga masuk ke dalam keumuman hadits Nabi yang sahih:
          " فدين الله أحق أن يقضى "
Maknanya : "Hutang kepada Allah lebih layak untuk dibayar (qadla')"

Hal ini disepakati (Ijma') oleh para ulama. Orang yang mengatakan sholat yang ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib diqadla' seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Sayyid Sabiq, berarti telah menyalahi ijma' para ulama Islam seperti dikatakan oleh al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i, al Hafizh Ibnu Thulun dan lain-lain.

Sedangkan perkataan 'Aisyah –semoga Allah meridlainya- yang biasa dijadikan oleh sebagian orang sebagai dalil tidak wajibnya mengqadla' sholat bunyinya adalah sebagai berikut secara lengkap :
" كنّا نـحيض عند رسول الله ، ثم نطهر فنؤمر بقضاء الصوم ، ولا نؤمر بقضاء الصلاة ".
"Kami haidl di masa Rasulullah kemudian suci maka kami diperintahkan untuk mengqadla' puasa dan tidak diperintah untuk mengqadla' sholat "

Orang yang membaca perkataan 'Aisyah ini dengan lengkap bukan sepotong-sepotong akan memahami bahwa perkataannya ini berkaitan dengan wanita yang haidl bahwa tidak diperintahkan baginya untuk mengqadla sholat yang dia tinggalkan selama dia haidl. Jadi orang yang menjadikan perkataan 'Aisyah sebagai dalil untuk menolak kewajiban mengqadla' sholat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja, orang ini tidak memahami perkataannya sendiri.

QADLA’ SHALAT


Sholat yang ditinggalkan karena lupa atau ketiduran wajib diqadla' sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alayhi wasallam :
" من نسي صلاة فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك "  رواه مسلم
Maknanya : "Barang siapa lupa tidak melakukan sholat tertentu maka laksanakanlah jika ia ingat, tidak ada tanggungan atasnya kecuali qadla' tersebut" (H.R. Muslim)

Dalam redaksi lain, Rasulullah bersabda :
" من نسي صلاة أو نام عنها فكفارتها أن يصليها إذا ذكرها "  رواه مسلم
Maknanya: "Barang siapa lupa tidak melakukan sholat tertentu atau tertidur maka kaffarahnya adalah melaksanakannya jika ia ingat" (H.R. Muslim)

            Jika sholat yang ditinggalkan karena lupa atau ketiduran wajib diqadla' apalagi sholat yang ditinggalkan dengan sengaja lebih wajib diqadla'. Ini juga masuk ke dalam keumuman hadits Nabi yang sahih:
          " فدين الله أحق أن يقضى "
Maknanya : "Hutang kepada Allah lebih layak untuk dibayar (qadla')"

Hal ini disepakati (Ijma') oleh para ulama. Orang yang mengatakan sholat yang ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib diqadla' seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Sayyid Sabiq, berarti telah menyalahi ijma' para ulama Islam seperti dikatakan oleh al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i, al Hafizh Ibnu Thulun dan lain-lain.

Sedangkan perkataan 'Aisyah –semoga Allah meridlainya- yang biasa dijadikan oleh sebagian orang sebagai dalil tidak wajibnya mengqadla' sholat bunyinya adalah sebagai berikut secara lengkap :
" كنّا نـحيض عند رسول الله ، ثم نطهر فنؤمر بقضاء الصوم ، ولا نؤمر بقضاء الصلاة ".
"Kami haidl di masa Rasulullah kemudian suci maka kami diperintahkan untuk mengqadla' puasa dan tidak diperintah untuk mengqadla' sholat "

Orang yang membaca perkataan 'Aisyah ini dengan lengkap bukan sepotong-sepotong akan memahami bahwa perkataannya ini berkaitan dengan wanita yang haidl bahwa tidak diperintahkan baginya untuk mengqadla sholat yang dia tinggalkan selama dia haidl. Jadi orang yang menjadikan perkataan 'Aisyah sebagai dalil untuk menolak kewajiban mengqadla' sholat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja, orang ini tidak memahami perkataannya sendiri.

Senin, 03 September 2012

MENCIUM TANGAN ORANG SALEH DAN BERDIRI UNTUK MENGHORMATI KEDATANGAN SEORANG MUSLIM



Perlu diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang saleh adalah perkara yang mustahabb (sunnah) yang disukai Allah, berdasarkan hadits-hadits Nabi dan dan  atsar para sahabat.

            Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya: bahwa ada dua orang Yahudi bersepakat "Mari kita pergi menghadap Nabi ini untuk menanyainya tentang sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa. Maksud dua orang ini adalah ingin mencari kelemahan Nabi karena dia ummi (karenanya mereka menganggapnya tidak mengetahui sembilan ayat tersebut) , maka tatkala Nabi menjelasan kepada keduanya (tentang sembilan ayat tersebut) keduanya terkejut dan langsung mencium kedua tangan Nabi dan kakinya. Imam at–Tarmidzi berkomentar tentang hadits ini: " hasan sahih ".

            Abu asy-Syaikh dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ka'ab bin Malik -semoga Allah meridlainya- dia berkata: "Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku mendatangi Nabi lalu mencium kedua tangan dan lututnya" .

            Imam al Bukhari  meriwayatkan dalam kitabnya al Adab al Mufrad bahwa Ali bin Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- telah mencium tangan Abbas dan kedua kakinya, padahal Ali lebih tinggi derajatnya daripada 'Abbas namun karena 'Abbas adalah pamannya dan orang yang saleh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya.

            Demikian juga dengan 'Abdullah ibnu 'Abbas -semoga Allah meridlainya-  yang termasuk kalangan sahabat yang kecil ketika Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mwninggal. Dia pergi kepada sebagian sahabat untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid bin Tsabit yang merupakan sahabat yang paling banyak menulis wahyu, ketika itu Zaid sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu 'Abdullah bin Abbas memegang tempat Zaid meletakan kaki di atas hewan tunggangannya. Lalu Zaid bin Tsabit-pun mencium tangan 'Abdullah bin 'Abbas karena dia termasuk keluarga Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam  sambil  mengatakan: "Demikianlah kami memperlakukan keluarga Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam". Padahal Zaid bin Tsabit lebih tua dari 'Abdullah bin 'Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al Hafizh Abu Bakar bin al Muqri pada Juz Taqbil al Yad.

            Ibnu Sa'ad juga meriwayatkan dengan sanadnya dalam kitab Thabaqaat dari 'Abdurrahman bin Zaid al 'Iraqi, ia berkata: "Kami telah mendatangi Salamah bin al Akwa'                     di ar-Rabdzah lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta lalu dia berkata : "Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam, lalu kami meraih tangannya dan menciumnya ".

            Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Imam Muslim mencium tangan Imam al Bukhari dan berkata kepadanya:
          ولو أذنت لي لقبلت رجلك
"Seandainya anda mengizinkan  pasti aku cium kaki anda".

            Dalam kitab at-Talkhish al Habir karangan al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani disebutkan: " Dalam masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar  bin al Muqri, kami mengumpulkannya dalam satu juz, di antaranya hadits Ibnu Umar dalam suatu kisah beliau berkata:
فدنونا من التبي صلى الله عليه وسلم فقبلنا يده ورجله  (رواه أبو داود)
"Maka kami mendekat kepada Nabi shallallahu 'alayhi wasallam  lalu kami cium tangan  dan kakinya".
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.

            Di antaranya  juga hadits Shafwan bin 'Assal, dia berkata: "Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya:    Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad). Lanjutan hadits ini:
          فقبلا يده ورجله وقالا: نشـهد أنك نبي
"Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi".

 Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab  Sunan  (yang empat)  dengan sanad yang kuat.

            Juga hadits az-Zari' bahwa ia termasuk rombongan utusan Abdul Qays, ia berkata:
          فجعلنا نتبادر من رواحلنا فنقبل يد النبي صلى الله عليه وسلم
"Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam ".
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.

            Dalam hadits tentang peristiwa al Ifk (tersebarnya kabar dusta bahwa 'Aisyah berzina)  dari 'Aisyah, ia berkata : Abu Bakar berkata kepadaku :
          قومي فقبلي رأسه
"Berdirilah dan cium kepalanya (Nabi)".

            Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)  dari 'Aisyah ia berkata:
ما رأيت أحدا كان أشبه سمتا وهديا ودلا برسول الله من فاطمة، وكان إذا دخلت عليه قام إليها فأخذ بيدها فقبلها وأجلسها في مجلسه ، وكانت إذا دخل عليها قامت إليه فأخذت بيده فقبلته، وأجلسته في مجلسها 
"Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya.  Ketika Fathimah datang kepada Nabi, Nabi berdiri menyambutnya lalu mengambil tangannya kemudian menciumnya dan membawanya duduk di tempat duduk beliau, dan apabila Nabi datang kepada Fathimah, Fathimah berdiri menyambut beliau lalu mengambil tangan beliau kemudian menciumnya, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya".
Demikian penjelasan al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab at-Talkhish al Habir .

            Dalam hadits yang terakhir disebutkan juga terdapat dalil kebolehan berdiri untuk menyembut orang yang masuk datang ke suatu tempat  jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk bersombong diri dan menampakkan keangkuhan.

            Sedangkan hadits riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi dari Anas bahwa para sahabat jika mereka melihat Nabi mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Nabi tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Karena Rasulullah tidak menyukai hal itu sebab takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Jadi beliau tidak menyukainya karena menginginkan keringanan bagi ummatnya dan sudah maklum bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.

            Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam  bersabda :
          " من أحب أن يتمثل له الرجال قياما فليتبوأ مقعده من النار"
Berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majlis lalu raja mereka masuk mereka berdiri untuk raja mereka dengan Tamatstsul ; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majlis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.

            Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Nabi  shallallahu 'alayhi wasallam menarik tangannya dari tangan orang yang ingin menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits.

            Sungguh aneh orang yang menyebutkan hadits tersebut dengan tujuan menjelekkan mencium tangan, bagaimana dia meninggalkan sekian banyak hadits sahih yang membolehkan mencium tangan dan berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya !?.

AURAT PEREMPUAN ADALAH SELURUH TUBUHNYA SELAIN MUKA DAN KEDUA TELAPAK TANGAN

Para ulama mujtahid telah menyepakati (ijma') bahwa seorang perempuan boleh keluar rumah dalam keadaan terbuka wajahnya dan keharusan bagi orang laki-laki untuk tidak memandang dengan syahwat, jika memang perempuan tersebut menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangannya. Ijma' ini telah dinukil oleh banyak ulama, di antaranya al Imam al Mujtahid Ibnu Jarir ath-Thabari, al Qadli 'Iyadl al Maliki dalam al Ikmal, Imam al Haramayn al Juwayni, al Qaffal asy-Syasyi, al Imam ar-Razi, bahkan Ibnu Hajar al Haytami menukil dari sekelompok ulama yang menyebutkan ijma' dalam masalah ini.

            Allah ta'ala berfirman :
 )ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها  (  (سورة النور : 31 )
Maknanya: “Dan tidak bolah bagi mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari perhiasan tersebut” (Q.S. an-Nur: 31)
As-Sayyidah 'Aisyah dan Abdullah ibn 'Abbas –semoga Allah meridlai mereka-    إلا ما ظهر منها : "adalah muka dan kedua telapak tangan". Hal serupa juga dikemukakan oleh al Imam Ahmad.

            Di antara dalil yang menunjukkan kepada hukum ini adalah hadits perempuan Khats'amiyyah yang diriwayatkan oleh al Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud, an-Nasa-i, ad-Darimi dan Ahmad dari jalur 'Abdullah ibn 'Abbas, ia berkata : "Di pagi hari raya 'Iedul Adlha datang seorang perempuan dari kabilah Khats'am dan bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji berlaku atas ayahku ketika beliau sudah tua dan tidak bisa lagi naik kendaraan, apakah aku bisa berhaji untuknya ? Rasulullah menjawab : berhajilah untuknya. Ibnu 'Abbas berkata : perempuan tersebut adalah perempuan cantik, al Fadl-pun melihat kepadanya, ia terpesona dengan kecantikannya, maka Rasulullah memalingkan leher al Fadl ke arah lain". Dalam riwayat at-Tirmidzi dari jalur 'Ali : "Perempuan itu juga melihat kepada al Fadl, ia terpesona oleh ketampanannya, kemudian al 'Abbas berkata : Wahai Rasulullah, kenapa engkau palingkan leher anak pamanmu ? Rasulullah menjawab : Aku melihat seorang pemuda dan pemudi, aku tidak menjamin selamat keduanya dari setan", at-Turmudzi berkata : Hadits ini hasan sahih. Ibnu 'Abbas berkata : "Peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat yang mewajibkan Hijab".

Dalil yang bisa diambil dari hadits ini bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam tidak memerintahkan perempuan Khats'amiyyah yang cantik ini untuk menutup mukanya. Mungkin ada orang yang berkata : Bukankah ia sedang ihram (pantaslah ia tidak menutup mukanya karena hal itu memang dilarang) ! Jawabannya :  Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya Rasulullah akan memerintahkan perempuan tersebut untuk melambaikan kain di atas muknya tanpa menyentuh kulit muka dengan merenggangkan (antara kain dan muka) dengan memakai sesuatu untuk memnuhi kemaslahatan ihram tersebut. Tapi ternyata Rasulullah tidak memerintahnya. Ini menunjukkan bahwa menutup muka bagi perempuan tidak wajib hukumnya, tetapi merupakan sesuatu yang baik dan disunnahkan.

            Para ulama juga telah sepakat bahwa perempuan dimakruhkan baginya menutup muka dan memakai cadar dalam sholat dan bahwa hal itu diharamkan saat ihram.

            Sedangkan kewajiban menutup muka itu hanya berlaku khusus bagi isteri-isteri Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam sebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud dan lainnya. Al Hafizh Ibnu Hajr mengatakan dalam at-Talkhish al Habir : "Abu Dawud mengatakan : ini (kewjiban menutup muka) hanya berlaku bagi isteri-isteri Rasulullah secara khusus dengan dalil hadits Fathimah binti Qays. Aku (Ibnu Hajar) mengatakan : Ini adalah pemaduan yang bagus, dengan ini pula al Mundziri melakukan pemaduan dalam Hawasyi-nya dan itu dianggap baik oleh guru kami". Maksud Ibnu Hajar bahwa sabda Nabi riwayat Abu Dawud kepada kedua isterinya :
          " احتجبا منه "
Maknanya : "Pakailah hijab darinya ".

Ketika Ibnu Ummi Maktum yang buta datang, perintah ini adalah khusus bagi isteri-isteri Rasulullah, karena dikompromikan dengan hadits Fathimah binti Qays riwayat Muslim bahwa Rasulullah berkata kepadanya : "Lakukanlah 'iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia adalah orang buta, kamu bisa meletakkan pakaianmu di sana". Jadi jelas dalam hal ini Rasulullah dalam hukum membedakan antara isterinya dengan yang bukan isterinya. Abu al Qasim al 'Abdari, penulis at-Taj wa al Iklil bisyarh Mukhtashar Khalil mengatakan : "Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa kewajiban menutup muka hanya khusus bagi isteri-isteri Nabi shallallahu 'alayhi wasallam ".

            Sedangkan firman Allah ta'ala :
) يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا (  (سورة الأحزاب : 59 )
Maknanya: “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin : hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang” (Q.S. al Ahzab: 59)

 Dalam ayat ini, Allah mengatakan  "  عليهن " ; atas tubuh mereka, bukan  " على وجوههن "  ; atas muka mereka. Jadi ayat ini maknanya sama dengan ayat yang lain, yaitu :
          ) وليضربن بخمرهن على جيوبهن (  (سورة النور : 31 )
Maknanya: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” (Q.S. an-Nur: 31)
Maksud kedua ayat ini adalah perintah yang mewajibkan menutup leher  dan bagian atas dada. Ayat 59 dari surat al Ahzab ini memerintahkan demikian untuk membedakan antara perempuan yang merdeka dan budak. Demikian dijelaskan makna kedua ayat tersebut oleh al Hafizh al Mujtahid 'Ali ibn Muhammad ibn al Qaththan al Fasi dalam kitabnya an-Nazhar fi  Ahkam an-Nazhar.

            Makna Khimar adalah kain yang digunakan oleh perempuan untuk menutup kepalanya. Al Jayb  adalah lubang di ujung baju atas di dekat leher. Jilbab adalah kain lebar yang digunakan oleh seorang perempuan untuk menyelimuti tubuhnya setelah pakaiannya lengkap, jilbab ini disunnahkan dipakai oleh perempuan.

            Jadi ayat  " يدنين عليهن من جلابيبهن "   tidak  berisi  kewajiban menutup muka, melainkan maksudnya adalah menutup leher dengannya sebagaimana dikatakan oleh 'Ikrimah bahwa makna ayat tersebut perintah menutup lekukan bagian atas dada, karena sebelum turunnya ayat hijab ini para wanita muslimah melakukan seperti yang dilakukan oleh perempuan di masa jahiliyyah, yaitu meletakkan kerudung di atas kepala dan diulurkan ke belakang jadi lehernya nampak.

            Firman Allah "  ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين "  : "Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu". Maksudnya adalah wanita-wanita merdeka lebih selamat dari gangguan orang-orang yang usil ketika mereka berbeda penampilan dengan para budak perempuan. Karena orang-orang fasik tersebut akan mengganggu wanita merdeka kalau mereka mengiranya budak. Jadi ketika seorang wanita merdeka menutup kepala dan lehernya ia akan selamat dari gangguan orang-orang fasik tersebut karena sudah ada tanda pembeda antara keduanya. Sedangkan para budak wanita memang tidak diwajibkan menutup leher dan kepala ketika keluar.

MASALAH-MASALAH SEPUTAR SHALAT DAN DZIKIR


 a.     Qunut Subuh

Dalam madzhab Syafi'i disunnahkan membaca doa Qunut pada sholat Subuh, baik terjadi musibah ataupun tidak. Pendapat ini juga pendapat kebanyakan ulama salaf dan para ulama sesudah mereka, atau banyak ulama dari kalangan mereka seperti Abu Bakr ash-shiddiq, Umar, Utsman, Ali, Ibn 'Abbas, al Bara' ibn 'Azib dan lain-lain.

Sahabat Anas ibn Malik mengatakan :

" أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا  يدعو عليهم ثم ترك، فأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا "  قال الحافظ النووي : حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه، وممن نص على صحته الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي البلخي والحاكم والبيهقي والدارقطني 

Maknanya : "Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam membaca Qunut, mendoakan mereka agar celaka (dua kabilah; Ri'l dan Dzakwan) kemudian meninggalkannya, sedangkan pada sholat Subuh ia tetap membaca doa qunut hingga meninggalkan dunia ini"  (Hadits sahih riwayat banyak ahli hadits dan disahihkan oleh banyak ahli hadits seperti al Hafizh al Balkhi, al Hakim, al Bayhaqi dan ad-Daraquthni dan lain-lain)


Kalau ada orang mengatakan Qunut Subuh sebagai bid'ah berarti mengatakan para sahabat dan para ulama mujtahid yang telah disebutkan sebagai ahli bid'ah, na'udzu billah min dzalik.


b.     Dzikir dengan suara yang keras

Abdullah ibn 'Abbas berkata :

" كنت أعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير" رواه البخاري ومسلم

Maknanya : "Aku mengetahui selesainya sholat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" كنا نعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير"  رواه مسلم

Maknanya : "Kami mengetahui selesainya sholat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد رسول الله" رواه البخاري ومسلم

Maknanya : "Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jama'ah selesai sholat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته" 

Maknanya : "Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai sholat dengan mendengar suara berdzikir yang keras itu"

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya. Karena mengangkat suara dengan keras yang berlebih-lebihan dilarang oleh Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dalam hadits yang lain. Dalam hadits riwayat al Bukhari dari Abu Musa al Asy'ari bahwa ketika para sahabat sampai dari perjalanan mereka di lembah Khaibar, mereka membaca tahlil dan takbir dengan suara yang sangat keras. Lalu Rasulullah berkata kepada mereka :

" اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصمّ ولا غائبا ، إنما تدعون سميعا قريبا ..."

Maknanya : "Ringankanlah atas diri kalian (jangan memaksakan diri mengeraskan suara), sesungguhnya kalian tidak meminta kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, kalian meminta kepada yang maha mendengar dan maha "dekat" …"  (H.R. al Bukhari)


Hadits ini tidak melarang berdzikir dengan suara yang keras, yang dilarang adalah dengan suara yang sangat keras dan berlebih-lebihan. Hadits ini juga menunjukkan bahwa boleh berdzikir dengan berjama'ah sebagaimana dilakukan oleh para sahabat tersebut, karena bukan ini yang dilarang oleh Nabi melainkan mengeraskan suara secara berlebih-lebihan.


c.     Doa dengan berjama'ah

Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

" ما اجتمع قوم فدعا بعض وأمّن الآخرون إلا استجيب لهم " (رواه الحاكم في المستدرك من حديث مسلمة بن حبيب الفهري)
Maknanya : "Tidaklah suatu jama'ah berkumpul, lalu sebagian berdoa dan yang lain mengamini kecuali doa tersebut akan dikabulkan oleh Allah" (H.R. al Hakim dalam al Mustadrak dari sahabat Maslamah ibn Habib al Fihri)

Hadits ini menunjukkan kebolehan berdoa dengan berjama'ah, salah satu berdoa dan yang lain mengamini, termasuk dalam hal ini yang sering dilakukan oleh jama'ah setelah sholat lima waktu, imam sholat berdoa dan jama'ah mengamini.

MASALAH-MASALAH SEPUTAR SHALAT DAN DZIKIR


 a.     Qunut Subuh

Dalam madzhab Syafi'i disunnahkan membaca doa Qunut pada sholat Subuh, baik terjadi musibah ataupun tidak. Pendapat ini juga pendapat kebanyakan ulama salaf dan para ulama sesudah mereka, atau banyak ulama dari kalangan mereka seperti Abu Bakr ash-shiddiq, Umar, Utsman, Ali, Ibn 'Abbas, al Bara' ibn 'Azib dan lain-lain.

Sahabat Anas ibn Malik mengatakan :

" أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا  يدعو عليهم ثم ترك، فأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا "  قال الحافظ النووي : حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه، وممن نص على صحته الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي البلخي والحاكم والبيهقي والدارقطني 

Maknanya : "Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam membaca Qunut, mendoakan mereka agar celaka (dua kabilah; Ri'l dan Dzakwan) kemudian meninggalkannya, sedangkan pada sholat Subuh ia tetap membaca doa qunut hingga meninggalkan dunia ini"  (Hadits sahih riwayat banyak ahli hadits dan disahihkan oleh banyak ahli hadits seperti al Hafizh al Balkhi, al Hakim, al Bayhaqi dan ad-Daraquthni dan lain-lain)


Kalau ada orang mengatakan Qunut Subuh sebagai bid'ah berarti mengatakan para sahabat dan para ulama mujtahid yang telah disebutkan sebagai ahli bid'ah, na'udzu billah min dzalik.


b.     Dzikir dengan suara yang keras

Abdullah ibn 'Abbas berkata :

" كنت أعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير" رواه البخاري ومسلم

Maknanya : "Aku mengetahui selesainya sholat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" كنا نعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير"  رواه مسلم

Maknanya : "Kami mengetahui selesainya sholat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد رسول الله" رواه البخاري ومسلم

Maknanya : "Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jama'ah selesai sholat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته" 

Maknanya : "Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai sholat dengan mendengar suara berdzikir yang keras itu"

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya. Karena mengangkat suara dengan keras yang berlebih-lebihan dilarang oleh Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dalam hadits yang lain. Dalam hadits riwayat al Bukhari dari Abu Musa al Asy'ari bahwa ketika para sahabat sampai dari perjalanan mereka di lembah Khaibar, mereka membaca tahlil dan takbir dengan suara yang sangat keras. Lalu Rasulullah berkata kepada mereka :

" اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصمّ ولا غائبا ، إنما تدعون سميعا قريبا ..."

Maknanya : "Ringankanlah atas diri kalian (jangan memaksakan diri mengeraskan suara), sesungguhnya kalian tidak meminta kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, kalian meminta kepada yang maha mendengar dan maha "dekat" …"  (H.R. al Bukhari)


Hadits ini tidak melarang berdzikir dengan suara yang keras, yang dilarang adalah dengan suara yang sangat keras dan berlebih-lebihan. Hadits ini juga menunjukkan bahwa boleh berdzikir dengan berjama'ah sebagaimana dilakukan oleh para sahabat tersebut, karena bukan ini yang dilarang oleh Nabi melainkan mengeraskan suara secara berlebih-lebihan.


c.     Doa dengan berjama'ah

Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

" ما اجتمع قوم فدعا بعض وأمّن الآخرون إلا استجيب لهم " (رواه الحاكم في المستدرك من حديث مسلمة بن حبيب الفهري)
Maknanya : "Tidaklah suatu jama'ah berkumpul, lalu sebagian berdoa dan yang lain mengamini kecuali doa tersebut akan dikabulkan oleh Allah" (H.R. al Hakim dalam al Mustadrak dari sahabat Maslamah ibn Habib al Fihri)

Hadits ini menunjukkan kebolehan berdoa dengan berjama'ah, salah satu berdoa dan yang lain mengamini, termasuk dalam hal ini yang sering dilakukan oleh jama'ah setelah sholat lima waktu, imam sholat berdoa dan jama'ah mengamini.

MEMBACA SAYYIDINA KETIKA BERSHALAWAT ATAS NABI

 Menambah lafazh "sayyid" sebelum menyebut nama Nabi adalah hal yang diperbolehkan karena kenyataannya beliau memang Sayyid al 'Alamin ; penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Jika Allah ta'ala dalam al Qur'an menyebut Nabi Yahya dengan :

) ... وسيدا وحصورا ونبيا من الصالـحين (   (سورة آل عمران : 39) 


Padahal Nabi Muhammad lebih mulia daripada Nabi Yahya. Ini berarti mengatakan sayyid untuk Nabi Muhammad juga boleh, bukankah Rasulullah sendiri pernah mengatakan tentang dirinya :

" أنا سيد ولد ءادم يوم القيامة ولا فخر "  رواه الترمذي
Maknanya : "Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat"  (H.R. at-Turmudzi)


Jadi boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد " meskipun tidak pernah ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah). Karena menyusun dzikir tertentu; yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur. Sayyidina umar dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Nabi, lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah :


" لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك ، لا شريك لك "
Umar menambahkan :

"لبيك اللهم لبيك وسعديك ، والخير في يديك، والرغباء إليك والعمل"


Ibnu Umar juga menambah lafazh tasyahhud menjadi :

" أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له "

Ibnu Umar berkata : " وأنا زدتها "  ; "Saya yang menambah       وحده لا شريك له ". (H.R. Abu Dawud)

Karena itulah al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al Bari, Juz. II, hlm. 287 ketika menjelaskan hadits Rifa'ah ibn Rafi', Rifa'ah mengatakan : Suatu hari kami sholat berjama'ah di belakang Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, ketika beliau mengangkat kepalanya setelah ruku' beliau membaca : سمع الله لمن حمده , salah seorang makmum mengatakan:  " ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه " , maka ketika sudah selesai sholat Rasulullah bertanya : "Siapa tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu ?" , Orang yang mengatakan tersebut menjawab: Saya , lalu Rasulullah mengatakan :


" رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها أيهم يكتبها أول"  

Maknanya : "Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya".


al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : "Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan;

Ø      Bolehnya menyusun dzikir di dalam sholat yang tidak ma'tsur selama tidak menyalahi yang ma'tsur.

Ø      Boleh mengeraskan suara berdzikir selama tidak mengganggu orang di dekatnya.


Ø      Dan bahwa orang yang bersin ketika sholat boleh mengucapkan al Hamdulillah tanpa ada kemakruhan di situ". Demikian perkataan Ibnu Hajar.
Jadi boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد "  dalam sholat sekalipun karena tambahan kata sayyidina ini tambahan yang sesuai dengan asal dan tidak bertentangan dengannya.[]


Agen pulsa all operator

 SUPER TELKOMSEL PROMO ======================= 🍒 TMP5 = 4.975 🍒 TMP10 = 9.975 SUPER INDOSAT PROMO =============== 🧀 IMS5 = 5.395 🧀 IMS10...