| Sholat  yang ditinggalkan karena lupa atau ketiduran wajib diqadla' sebagaimana sabda  Nabi shallallahu 'alayhi wasallam  : " من نسي صلاة فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك "  رواه مسلم  Maknanya  : "Barang siapa lupa tidak melakukan  sholat tertentu maka laksanakanlah jika ia ingat, tidak ada tanggungan atasnya  kecuali qadla' tersebut" (H.R. Muslim) Dalam  redaksi lain, Rasulullah bersabda : " من نسي صلاة أو نام عنها فكفارتها أن يصليها إذا ذكرها "  رواه مسلم Maknanya:  "Barang siapa lupa tidak melakukan sholat  tertentu atau tertidur maka kaffarahnya adalah melaksanakannya jika ia  ingat" (H.R. Muslim)             Jika sholat  yang ditinggalkan karena lupa atau ketiduran wajib diqadla'  apalagi sholat yang ditinggalkan dengan sengaja lebih wajib diqadla'. Ini juga  masuk ke dalam keumuman hadits Nabi yang sahih:           " فدين الله أحق أن يقضى " Maknanya  : "Hutang kepada Allah lebih layak untuk  dibayar (qadla')" Hal  ini disepakati (Ijma') oleh para  ulama. Orang yang mengatakan sholat yang ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib  diqadla' seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Sayyid Sabiq, berarti telah menyalahi  ijma' para ulama Islam seperti dikatakan oleh al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i, al  Hafizh Ibnu Thulun dan lain-lain.  Sedangkan  perkataan 'Aisyah –semoga Allah  meridlainya- yang biasa dijadikan oleh sebagian orang sebagai dalil tidak  wajibnya mengqadla' sholat bunyinya adalah sebagai berikut secara lengkap  : " كنّا نـحيض عند رسول الله ، ثم نطهر فنؤمر بقضاء الصوم ، ولا نؤمر  بقضاء الصلاة ". "Kami haidl di masa Rasulullah kemudian suci  maka kami diperintahkan untuk mengqadla' puasa dan tidak diperintah untuk  mengqadla' sholat " Orang  yang membaca perkataan 'Aisyah ini dengan lengkap bukan sepotong-sepotong akan  memahami bahwa perkataannya ini berkaitan dengan wanita yang haidl bahwa tidak  diperintahkan baginya untuk mengqadla sholat yang dia tinggalkan selama dia  haidl. Jadi orang yang menjadikan perkataan 'Aisyah sebagai dalil untuk menolak  kewajiban mengqadla' sholat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja,  orang ini tidak memahami perkataannya sendiri. | 
Tampilkan postingan dengan label Masail Diniyyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masail Diniyyah. Tampilkan semua postingan
Rabu, 05 September 2012
QADLA’ SHALAT
QADLA’ SHALAT
| 
Sholat 
yang ditinggalkan karena lupa atau ketiduran wajib diqadla' sebagaimana sabda 
Nabi shallallahu 'alayhi wasallam 
: 
" من نسي صلاة فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك "  رواه مسلم  
Maknanya 
: "Barang siapa lupa tidak melakukan 
sholat tertentu maka laksanakanlah jika ia ingat, tidak ada tanggungan atasnya 
kecuali qadla' tersebut" (H.R. Muslim) 
Dalam 
redaksi lain, Rasulullah bersabda : 
" من نسي صلاة أو نام عنها فكفارتها أن يصليها إذا ذكرها "  رواه مسلم 
Maknanya: 
"Barang siapa lupa tidak melakukan sholat 
tertentu atau tertidur maka kaffarahnya adalah melaksanakannya jika ia 
ingat" (H.R. Muslim) 
            Jika sholat 
yang ditinggalkan karena lupa atau ketiduran wajib diqadla' 
apalagi sholat yang ditinggalkan dengan sengaja lebih wajib diqadla'. Ini juga 
masuk ke dalam keumuman hadits Nabi yang sahih: 
          " فدين الله أحق أن يقضى " 
Maknanya 
: "Hutang kepada Allah lebih layak untuk 
dibayar (qadla')" 
Hal 
ini disepakati (Ijma') oleh para 
ulama. Orang yang mengatakan sholat yang ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib 
diqadla' seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Sayyid Sabiq, berarti telah menyalahi 
ijma' para ulama Islam seperti dikatakan oleh al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i, al 
Hafizh Ibnu Thulun dan lain-lain.  
Sedangkan 
perkataan 'Aisyah –semoga Allah 
meridlainya- yang biasa dijadikan oleh sebagian orang sebagai dalil tidak 
wajibnya mengqadla' sholat bunyinya adalah sebagai berikut secara lengkap 
: 
" كنّا نـحيض عند رسول الله ، ثم نطهر فنؤمر بقضاء الصوم ، ولا نؤمر 
بقضاء الصلاة ". 
"Kami haidl di masa Rasulullah kemudian suci 
maka kami diperintahkan untuk mengqadla' puasa dan tidak diperintah untuk 
mengqadla' sholat " 
Orang 
yang membaca perkataan 'Aisyah ini dengan lengkap bukan sepotong-sepotong akan 
memahami bahwa perkataannya ini berkaitan dengan wanita yang haidl bahwa tidak 
diperintahkan baginya untuk mengqadla sholat yang dia tinggalkan selama dia 
haidl. Jadi orang yang menjadikan perkataan 'Aisyah sebagai dalil untuk menolak 
kewajiban mengqadla' sholat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja, 
orang ini tidak memahami perkataannya sendiri. | 
Senin, 03 September 2012
MENCIUM TANGAN ORANG SALEH DAN BERDIRI UNTUK MENGHORMATI KEDATANGAN SEORANG MUSLIM
Perlu  diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan  orang kaya yang saleh adalah perkara yang mustahabb (sunnah) yang disukai Allah,  berdasarkan hadits-hadits Nabi dan dan   atsar para sahabat.
            Di antaranya hadits yang  diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya: bahwa ada dua orang Yahudi bersepakat  "Mari kita pergi menghadap Nabi ini untuk menanyainya tentang sembilan ayat yang  Allah turunkan kepada Nabi Musa. Maksud dua orang ini adalah ingin mencari  kelemahan Nabi karena dia ummi  (karenanya mereka menganggapnya tidak mengetahui sembilan ayat tersebut) , maka  tatkala Nabi menjelasan kepada keduanya (tentang sembilan ayat tersebut)  keduanya terkejut dan langsung mencium kedua tangan Nabi dan kakinya. Imam  at–Tarmidzi berkomentar tentang hadits ini: " hasan sahih  ".
            Abu asy-Syaikh dan Ibnu Mardawaih  meriwayatkan dari Ka'ab bin Malik -semoga  Allah meridlainya- dia berkata: "Ketika turun ayat tentang (diterimanya)  taubat-ku, aku mendatangi Nabi lalu mencium kedua tangan dan lututnya"  .
            Imam al Bukhari  meriwayatkan dalam kitabnya al Adab al Mufrad bahwa Ali bin Abi  Thalib -semoga Allah meridlainya-  telah mencium tangan Abbas dan kedua kakinya, padahal Ali lebih tinggi  derajatnya daripada 'Abbas namun karena 'Abbas adalah pamannya dan orang yang  saleh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya.
            Demikian  juga dengan 'Abdullah ibnu 'Abbas -semoga  Allah meridlainya-  yang termasuk  kalangan sahabat yang kecil ketika Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mwninggal.  Dia pergi kepada sebagian sahabat untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika  beliau pergi kepada Zaid bin Tsabit yang merupakan sahabat yang paling banyak  menulis wahyu, ketika itu Zaid sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu  'Abdullah bin Abbas memegang tempat Zaid meletakan kaki di atas hewan  tunggangannya. Lalu Zaid bin Tsabit-pun mencium tangan 'Abdullah bin 'Abbas  karena dia termasuk keluarga Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam  sambil   mengatakan: "Demikianlah kami memperlakukan keluarga Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam". Padahal  Zaid bin Tsabit lebih tua dari 'Abdullah bin 'Abbas. Atsar  ini diriwayatkan oleh al Hafizh Abu Bakar bin al Muqri pada Juz Taqbil al Yad.
            Ibnu  Sa'ad juga meriwayatkan dengan sanadnya dalam kitab Thabaqaat dari 'Abdurrahman bin Zaid al  'Iraqi, ia berkata: "Kami telah mendatangi Salamah bin al Akwa'                     di ar-Rabdzah lalu ia  mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta lalu dia berkata :  "Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam, lalu kami  meraih tangannya dan menciumnya ". 
            Juga telah diriwayatkan dengan sanad  yang sahih bahwa Imam Muslim mencium tangan Imam al Bukhari dan berkata  kepadanya:
          ولو أذنت لي لقبلت رجلك
"Seandainya  anda mengizinkan  pasti aku cium kaki  anda".
             Dalam kitab at-Talkhish al  Habir karangan al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani disebutkan: " Dalam masalah  mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar  bin al Muqri, kami mengumpulkannya dalam satu  juz, di antaranya hadits Ibnu Umar dalam suatu kisah beliau  berkata:
فدنونا  من التبي صلى الله عليه وسلم فقبلنا يده ورجله   (رواه أبو داود) 
"Maka  kami mendekat kepada Nabi  shallallahu 'alayhi wasallam  lalu kami cium tangan  dan kakinya". 
Hadits  ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.
            Di antaranya  juga hadits Shafwan bin 'Assal, dia berkata:  "Ada seorang  Yahudi berkata kepada temannya:    Mari  kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad).  Lanjutan  hadits ini:
          فقبلا  يده ورجله وقالا: نشـهد أنك نبي
"Maka  keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa  engkau seorang Nabi".
 Hadits  ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab   Sunan  (yang empat)   dengan sanad yang kuat.
            Juga  hadits az-Zari' bahwa ia termasuk rombongan utusan Abdul Qays, ia berkata: 
          فجعلنا نتبادر من رواحلنا فنقبل يد  النبي صلى الله عليه وسلم 
"Maka  kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Nabi  shallallahu 'alayhi wasallam  ". 
Hadits  ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.
            Dalam  hadits tentang peristiwa al Ifk  (tersebarnya kabar dusta bahwa 'Aisyah berzina)   dari 'Aisyah, ia berkata : Abu Bakar berkata kepadaku  :
          قومي فقبلي رأسه 
"Berdirilah  dan cium kepalanya (Nabi)".
            Dalam  kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)  dari 'Aisyah ia  berkata:
ما  رأيت أحدا كان أشبه سمتا وهديا ودلا برسول الله من فاطمة، وكان إذا دخلت عليه قام  إليها فأخذ بيدها فقبلها وأجلسها في مجلسه ، وكانت إذا دخل عليها قامت إليه فأخذت  بيده فقبلته، وأجلسته في مجلسها  
"Aku  tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah  dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya.   Ketika Fathimah datang kepada Nabi, Nabi berdiri menyambutnya lalu  mengambil tangannya kemudian menciumnya dan membawanya duduk di tempat duduk  beliau, dan apabila Nabi datang kepada Fathimah, Fathimah berdiri menyambut  beliau lalu mengambil tangan beliau kemudian menciumnya, setelah itu ia  mempersilahkan beliau duduk di tempatnya".
Demikian  penjelasan al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab  at-Talkhish al Habir  . 
            Dalam hadits yang terakhir  disebutkan juga terdapat dalil kebolehan berdiri untuk menyembut orang yang  masuk datang ke suatu tempat  jika memang  bertujuan untuk menghormati bukan untuk bersombong diri dan menampakkan  keangkuhan. 
            Sedangkan hadits riwayat Ahmad dan  at-Tirmidzi dari Anas bahwa para sahabat jika mereka melihat Nabi mereka tidak  berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Nabi tidak menyukai hal itu,  hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Karena  Rasulullah tidak menyukai hal itu sebab takut akan diwajibkan hal itu atas para  sahabat. Jadi beliau tidak menyukainya karena menginginkan keringanan bagi  ummatnya dan sudah maklum bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia  meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan  bagi ummatnya.
            Sedangkan hadits yang diriwayatkan  oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi  bahwa  Rasulullah shallallahu 'alayhi  wasallam  bersabda :  
          " من أحب أن يتمثل له الرجال قياما  فليتبوأ مقعده من النار"
Berdiri  yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh  orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika  mereka ada di suatu majlis lalu raja mereka masuk mereka berdiri untuk raja  mereka dengan Tamatstsul ; artinya  berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majlis atau tempat tersebut.  Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul  dalam bahasa Arab.
            Sedangkan riwayat yang disebutkan  oleh sebagian orang bahwa Nabi  shallallahu  'alayhi wasallam  menarik  tangannya dari tangan orang yang ingin menciumnya, ini adalah hadits yang sangat  lemah menurut ahli hadits. 
            Sungguh aneh orang yang menyebutkan  hadits tersebut dengan tujuan menjelekkan mencium tangan, bagaimana dia  meninggalkan sekian banyak hadits sahih yang membolehkan mencium tangan dan  berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya !?.  
AURAT PEREMPUAN ADALAH SELURUH TUBUHNYA SELAIN MUKA DAN KEDUA TELAPAK TANGAN
Para  ulama mujtahid telah menyepakati (ijma') bahwa seorang perempuan boleh keluar  rumah dalam keadaan terbuka wajahnya dan keharusan bagi orang laki-laki untuk  tidak memandang dengan syahwat, jika memang perempuan tersebut menutup seluruh  tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangannya.  Ijma'  ini telah dinukil oleh banyak ulama, di antaranya al Imam al Mujtahid Ibnu Jarir  ath-Thabari, al Qadli 'Iyadl al Maliki dalam al Ikmal, Imam al Haramayn  al Juwayni, al Qaffal asy-Syasyi, al Imam ar-Razi, bahkan Ibnu Hajar al Haytami  menukil dari sekelompok ulama yang menyebutkan ijma' dalam masalah  ini.
            Allah ta'ala berfirman  :
 )ولا  يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها   (  (سورة النور : 31  )
Maknanya:  “Dan  tidak bolah bagi mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak  dari perhiasan tersebut”  (Q.S. an-Nur: 31) 
As-Sayyidah  'Aisyah dan Abdullah ibn 'Abbas –semoga Allah meridlai mereka-    إلا ما ظهر منها  : "adalah muka dan kedua telapak tangan". Hal serupa juga  dikemukakan oleh al Imam Ahmad.
            Di antara dalil yang menunjukkan  kepada hukum ini adalah hadits perempuan Khats'amiyyah yang diriwayatkan  oleh al Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud, an-Nasa-i, ad-Darimi dan Ahmad dari  jalur 'Abdullah ibn 'Abbas, ia berkata : "Di pagi hari raya 'Iedul Adlha datang  seorang perempuan dari kabilah Khats'am dan bertanya kepada Rasulullah: Wahai  Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji berlaku atas ayahku ketika beliau sudah  tua dan tidak bisa lagi naik kendaraan, apakah aku bisa berhaji untuknya ?  Rasulullah menjawab : berhajilah untuknya. Ibnu 'Abbas berkata : perempuan  tersebut adalah perempuan cantik, al Fadl-pun melihat kepadanya, ia terpesona  dengan kecantikannya, maka Rasulullah memalingkan leher al Fadl ke arah lain".  Dalam riwayat at-Tirmidzi dari jalur 'Ali : "Perempuan itu juga melihat kepada  al Fadl, ia terpesona oleh ketampanannya, kemudian al 'Abbas berkata : Wahai  Rasulullah, kenapa engkau palingkan leher anak pamanmu ? Rasulullah menjawab :  Aku melihat seorang pemuda dan pemudi, aku tidak menjamin selamat keduanya dari  setan", at-Turmudzi berkata : Hadits ini hasan sahih. Ibnu 'Abbas berkata :  "Peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat yang mewajibkan Hijab".  
Dalil  yang bisa diambil dari hadits ini bahwa Rasulullah  shallallahu  'alayhi wasallam  tidak memerintahkan perempuan Khats'amiyyah yang cantik ini untuk menutup  mukanya. Mungkin ada orang yang berkata : Bukankah ia sedang ihram (pantaslah ia  tidak menutup mukanya karena hal itu memang dilarang) ! Jawabannya :  Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya  Rasulullah akan memerintahkan perempuan tersebut untuk melambaikan kain di atas  muknya tanpa menyentuh kulit muka dengan merenggangkan (antara kain dan muka)  dengan memakai sesuatu untuk memnuhi kemaslahatan ihram tersebut. Tapi ternyata  Rasulullah tidak memerintahnya. Ini menunjukkan bahwa menutup muka bagi  perempuan tidak wajib hukumnya, tetapi merupakan sesuatu yang baik dan  disunnahkan.
            Para ulama juga telah sepakat bahwa  perempuan dimakruhkan baginya menutup muka dan memakai cadar dalam sholat dan  bahwa hal itu diharamkan saat ihram.
            Sedangkan kewajiban menutup muka itu  hanya berlaku khusus bagi isteri-isteri Rasulullah shallallahu  'alayhi wasallam  sebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud dan lainnya. Al Hafizh Ibnu Hajr  mengatakan dalam at-Talkhish al Habir : "Abu Dawud mengatakan : ini  (kewjiban menutup muka) hanya berlaku bagi isteri-isteri Rasulullah secara  khusus dengan dalil hadits Fathimah binti Qays. Aku (Ibnu Hajar) mengatakan :  Ini adalah pemaduan yang bagus, dengan ini pula al Mundziri melakukan pemaduan  dalam Hawasyi-nya dan itu dianggap baik oleh guru kami". Maksud Ibnu Hajar bahwa  sabda Nabi riwayat Abu Dawud kepada kedua isterinya :
          " احتجبا منه " 
Maknanya  : "Pakailah  hijab darinya ".
Ketika  Ibnu Ummi Maktum yang buta datang, perintah ini adalah khusus bagi isteri-isteri  Rasulullah, karena dikompromikan dengan hadits Fathimah binti Qays riwayat  Muslim bahwa Rasulullah berkata kepadanya : "Lakukanlah 'iddah di rumah Ibnu  Ummi Maktum, karena dia adalah orang buta, kamu bisa meletakkan pakaianmu di  sana". Jadi jelas dalam hal ini Rasulullah dalam hukum membedakan antara  isterinya dengan yang bukan isterinya. Abu al Qasim al 'Abdari, penulis  at-Taj wa al Iklil bisyarh Mukhtashar Khalil mengatakan : "Dan tidak ada  perbedaan pendapat bahwa kewajiban menutup muka hanya khusus bagi isteri-isteri  Nabi shallallahu  'alayhi wasallam  ". 
            Sedangkan firman Allah ta'ala  :
) يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من  جلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا (  (سورة الأحزاب : 59  )
Maknanya:  “Wahai  Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri  orang mukmin : hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Yang  demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak  diganggu. Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”  (Q.S. al Ahzab: 59) 
 Dalam  ayat ini, Allah mengatakan  "  عليهن " ; atas tubuh mereka, bukan   " على  وجوههن "  ; atas muka mereka.  Jadi ayat ini maknanya sama dengan ayat yang lain, yaitu :
          ) وليضربن بخمرهن على جيوبهن (  (سورة النور : 31  )
Maknanya:  “Dan  hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya”  (Q.S. an-Nur: 31) 
Maksud  kedua ayat ini adalah perintah yang mewajibkan menutup leher  dan bagian atas dada. Ayat 59 dari surat al  Ahzab ini memerintahkan demikian untuk membedakan antara perempuan yang merdeka  dan budak. Demikian dijelaskan makna kedua ayat tersebut oleh al Hafizh al  Mujtahid 'Ali ibn Muhammad ibn al Qaththan al Fasi dalam kitabnya an-Nazhar  fi  Ahkam  an-Nazhar.
            Makna Khimar adalah kain yang  digunakan oleh perempuan untuk menutup kepalanya. Al Jayb  adalah lubang di ujung baju atas di dekat  leher. Jilbab adalah kain lebar yang digunakan oleh seorang perempuan  untuk menyelimuti tubuhnya setelah pakaiannya lengkap, jilbab ini disunnahkan  dipakai oleh perempuan. 
            Jadi ayat  "  يدنين عليهن من جلابيبهن "   tidak  berisi   kewajiban  menutup muka, melainkan maksudnya adalah menutup leher dengannya sebagaimana  dikatakan oleh 'Ikrimah bahwa makna ayat tersebut perintah menutup lekukan  bagian atas dada, karena sebelum turunnya ayat hijab ini para wanita muslimah  melakukan seperti yang dilakukan oleh perempuan di masa jahiliyyah, yaitu  meletakkan kerudung di atas kepala dan diulurkan ke belakang jadi lehernya  nampak.
            Firman Allah "  ذلك  أدنى أن يعرفن فلا يؤذين "  :  "Yang  demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak  diganggu".  Maksudnya adalah wanita-wanita merdeka lebih selamat dari gangguan orang-orang  yang usil ketika mereka berbeda penampilan dengan para budak perempuan. Karena  orang-orang fasik tersebut akan mengganggu wanita merdeka kalau mereka  mengiranya budak. Jadi ketika seorang wanita merdeka menutup kepala dan lehernya  ia akan selamat dari gangguan orang-orang fasik tersebut karena sudah ada tanda  pembeda antara keduanya. Sedangkan para budak wanita memang tidak diwajibkan  menutup leher dan kepala ketika keluar.
MASALAH-MASALAH SEPUTAR SHALAT DAN DZIKIR
 a.     Qunut Subuh
Dalam  madzhab Syafi'i disunnahkan membaca doa Qunut pada sholat Subuh, baik terjadi  musibah ataupun tidak. Pendapat ini juga pendapat kebanyakan ulama salaf dan  para ulama sesudah mereka, atau banyak ulama dari kalangan mereka seperti Abu  Bakr ash-shiddiq, Umar, Utsman, Ali, Ibn 'Abbas, al Bara' ibn 'Azib dan  lain-lain. 
Sahabat  Anas ibn Malik mengatakan :
" أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا  يدعو عليهم ثم ترك، فأما في الصبح فلم يزل يقنت  حتى فارق الدنيا "  قال الحافظ النووي :  حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه، وممن نص على صحته الحافظ أبو عبد الله محمد  بن علي البلخي والحاكم والبيهقي والدارقطني   
Maknanya  : "Rasulullah shallallahu 'alayhi  wasallam membaca Qunut, mendoakan mereka agar celaka (dua kabilah; Ri'l dan  Dzakwan) kemudian meninggalkannya, sedangkan pada sholat Subuh ia tetap membaca  doa qunut hingga meninggalkan dunia ini"   (Hadits sahih riwayat banyak ahli hadits dan disahihkan oleh banyak ahli  hadits seperti al Hafizh al Balkhi, al Hakim, al Bayhaqi dan ad-Daraquthni dan  lain-lain)
Kalau  ada orang mengatakan Qunut Subuh sebagai bid'ah berarti mengatakan para sahabat  dan para ulama mujtahid yang telah disebutkan sebagai ahli bid'ah, na'udzu billah min  dzalik.
b.     Dzikir dengan suara yang  keras
Abdullah  ibn 'Abbas berkata :  
" كنت أعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير" رواه البخاري  ومسلم
Maknanya  : "Aku mengetahui selesainya sholat  Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari  dan Muslim)
" كنا نعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير"  رواه مسلم
Maknanya  : "Kami mengetahui selesainya sholat  Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari  dan Muslim)
" أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد  رسول الله" رواه البخاري ومسلم
Maknanya  : "Mengeraskan suara dalam berdzikir  ketika jama'ah selesai sholat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah" (H.R. al  Bukhari dan Muslim)
" كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته"  
Maknanya  : "Aku mengetahui bahwa mereka telah  selesai sholat dengan mendengar suara berdzikir yang keras itu"  
Hadits-hadits  ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi  tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya. Karena mengangkat suara dengan  keras yang berlebih-lebihan dilarang oleh Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dalam  hadits yang lain. Dalam hadits riwayat al Bukhari dari Abu Musa al Asy'ari bahwa  ketika para sahabat sampai dari perjalanan mereka di lembah Khaibar, mereka  membaca tahlil dan takbir dengan suara yang sangat keras.  Lalu Rasulullah berkata kepada mereka :
" اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصمّ ولا غائبا ، إنما تدعون  سميعا قريبا ..."
Maknanya  : "Ringankanlah atas diri kalian (jangan  memaksakan diri mengeraskan suara), sesungguhnya kalian tidak meminta kepada  Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, kalian meminta kepada  yang maha mendengar dan maha "dekat" …"   (H.R. al Bukhari) 
Hadits  ini tidak melarang berdzikir dengan suara yang keras, yang dilarang adalah  dengan suara yang sangat keras dan berlebih-lebihan. Hadits ini juga menunjukkan  bahwa boleh berdzikir dengan berjama'ah sebagaimana dilakukan oleh para sahabat  tersebut, karena bukan ini yang dilarang oleh Nabi melainkan mengeraskan suara  secara berlebih-lebihan. 
c.     Doa dengan  berjama'ah
Rasulullah  shallallahu 'alayhi wasallam bersabda  :
" ما اجتمع قوم فدعا بعض وأمّن الآخرون إلا استجيب لهم " (رواه  الحاكم في المستدرك من حديث مسلمة بن حبيب الفهري)
Maknanya  : "Tidaklah suatu jama'ah berkumpul, lalu  sebagian berdoa dan yang lain mengamini kecuali doa tersebut akan dikabulkan  oleh Allah" (H.R. al Hakim dalam al  Mustadrak dari sahabat Maslamah ibn Habib al Fihri)
Hadits  ini menunjukkan kebolehan berdoa dengan berjama'ah, salah satu berdoa dan yang  lain mengamini, termasuk dalam hal ini yang sering dilakukan oleh jama'ah  setelah sholat lima waktu, imam sholat berdoa dan jama'ah  mengamini.
MASALAH-MASALAH SEPUTAR SHALAT DAN DZIKIR
 a.     Qunut Subuh
Dalam 
madzhab Syafi'i disunnahkan membaca doa Qunut pada sholat Subuh, baik terjadi 
musibah ataupun tidak. Pendapat ini juga pendapat kebanyakan ulama salaf dan 
para ulama sesudah mereka, atau banyak ulama dari kalangan mereka seperti Abu 
Bakr ash-shiddiq, Umar, Utsman, Ali, Ibn 'Abbas, al Bara' ibn 'Azib dan 
lain-lain. 
Sahabat 
Anas ibn Malik mengatakan :
" أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا  يدعو عليهم ثم ترك، فأما في الصبح فلم يزل يقنت 
حتى فارق الدنيا "  قال الحافظ النووي : 
حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه، وممن نص على صحته الحافظ أبو عبد الله محمد 
بن علي البلخي والحاكم والبيهقي والدارقطني  
Maknanya 
: "Rasulullah shallallahu 'alayhi 
wasallam membaca Qunut, mendoakan mereka agar celaka (dua kabilah; Ri'l dan 
Dzakwan) kemudian meninggalkannya, sedangkan pada sholat Subuh ia tetap membaca 
doa qunut hingga meninggalkan dunia ini"  
(Hadits sahih riwayat banyak ahli hadits dan disahihkan oleh banyak ahli 
hadits seperti al Hafizh al Balkhi, al Hakim, al Bayhaqi dan ad-Daraquthni dan 
lain-lain)
Kalau 
ada orang mengatakan Qunut Subuh sebagai bid'ah berarti mengatakan para sahabat 
dan para ulama mujtahid yang telah disebutkan sebagai ahli bid'ah, na'udzu billah min 
dzalik.
b.     Dzikir dengan suara yang 
keras
Abdullah 
ibn 'Abbas berkata : 
" كنت أعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير" رواه البخاري 
ومسلم
Maknanya 
: "Aku mengetahui selesainya sholat 
Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari 
dan Muslim)
" كنا نعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير"  رواه مسلم
Maknanya 
: "Kami mengetahui selesainya sholat 
Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari 
dan Muslim)
" أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد 
رسول الله" رواه البخاري ومسلم
Maknanya 
: "Mengeraskan suara dalam berdzikir 
ketika jama'ah selesai sholat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah" (H.R. al 
Bukhari dan Muslim)
" كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته"  
Maknanya 
: "Aku mengetahui bahwa mereka telah 
selesai sholat dengan mendengar suara berdzikir yang keras itu" 
Hadits-hadits 
ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi 
tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya. Karena mengangkat suara dengan 
keras yang berlebih-lebihan dilarang oleh Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dalam 
hadits yang lain. Dalam hadits riwayat al Bukhari dari Abu Musa al Asy'ari bahwa 
ketika para sahabat sampai dari perjalanan mereka di lembah Khaibar, mereka 
membaca tahlil dan takbir dengan suara yang sangat keras. 
Lalu Rasulullah berkata kepada mereka :
" اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصمّ ولا غائبا ، إنما تدعون 
سميعا قريبا ..."
Maknanya 
: "Ringankanlah atas diri kalian (jangan 
memaksakan diri mengeraskan suara), sesungguhnya kalian tidak meminta kepada 
Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, kalian meminta kepada 
yang maha mendengar dan maha "dekat" …"  
(H.R. al Bukhari) 
Hadits 
ini tidak melarang berdzikir dengan suara yang keras, yang dilarang adalah 
dengan suara yang sangat keras dan berlebih-lebihan. Hadits ini juga menunjukkan 
bahwa boleh berdzikir dengan berjama'ah sebagaimana dilakukan oleh para sahabat 
tersebut, karena bukan ini yang dilarang oleh Nabi melainkan mengeraskan suara 
secara berlebih-lebihan. 
c.     Doa dengan 
berjama'ah
Rasulullah 
shallallahu 'alayhi wasallam bersabda 
:
" ما اجتمع قوم فدعا بعض وأمّن الآخرون إلا استجيب لهم " (رواه 
الحاكم في المستدرك من حديث مسلمة بن حبيب الفهري)
Maknanya 
: "Tidaklah suatu jama'ah berkumpul, lalu 
sebagian berdoa dan yang lain mengamini kecuali doa tersebut akan dikabulkan 
oleh Allah" (H.R. al Hakim dalam al 
Mustadrak dari sahabat Maslamah ibn Habib al Fihri)
Hadits 
ini menunjukkan kebolehan berdoa dengan berjama'ah, salah satu berdoa dan yang 
lain mengamini, termasuk dalam hal ini yang sering dilakukan oleh jama'ah 
setelah sholat lima waktu, imam sholat berdoa dan jama'ah 
mengamini.
MEMBACA SAYYIDINA KETIKA BERSHALAWAT ATAS NABI
 Menambah  lafazh "sayyid" sebelum menyebut nama  Nabi adalah hal yang diperbolehkan karena kenyataannya beliau memang Sayyid al 'Alamin ; penghulu dan  pimpinan seluruh makhluk. Jika Allah ta'ala dalam al Qur'an menyebut Nabi Yahya  dengan :
) ... وسيدا وحصورا ونبيا من الصالـحين (   (سورة آل عمران :  39)  
Padahal  Nabi Muhammad lebih mulia daripada Nabi Yahya. Ini berarti mengatakan sayyid untuk Nabi Muhammad juga boleh,  bukankah Rasulullah sendiri pernah mengatakan tentang dirinya  :
" أنا سيد ولد ءادم يوم القيامة ولا فخر "  رواه الترمذي
Maknanya  : "Saya adalah penghulu manusia di hari  kiamat"  (H.R.  at-Turmudzi)
Jadi  boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد " meskipun tidak pernah ada pada lafazh-lafazh shalawat yang  diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al  Ma'tsurah). Karena menyusun dzikir tertentu; yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan  dengan yang ma'tsur. Sayyidina umar  dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh  Nabi, lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah :
" لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك  والملك ، لا شريك لك "
Umar  menambahkan : 
"لبيك اللهم لبيك وسعديك ، والخير في يديك، والرغباء إليك  والعمل"
Ibnu  Umar juga menambah lafazh tasyahhud menjadi :
" أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له "
Ibnu  Umar berkata : " وأنا زدتها "  ; "Saya yang menambah        وحده  لا شريك له ". (H.R.  Abu Dawud)
Karena  itulah al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al  Bari, Juz. II, hlm. 287 ketika menjelaskan hadits Rifa'ah ibn Rafi', Rifa'ah  mengatakan : Suatu hari kami sholat berjama'ah di belakang Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, ketika  beliau mengangkat kepalanya setelah ruku' beliau membaca : سمع  الله لمن حمده ,  salah seorang makmum mengatakan:   " ربنا ولك الحمد  حمدا  كثيرا طيبا مباركا فيه " ,  maka ketika sudah selesai sholat Rasulullah bertanya : "Siapa tadi yang  mengatakan kalimat-kalimat itu ?" , Orang yang mengatakan tersebut menjawab:  Saya , lalu Rasulullah mengatakan :
" رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها أيهم يكتبها أول"  
Maknanya  : "Aku melihat lebih dari tiga puluh  malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama  mencatatnya".
al  Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : "Hadits ini adalah dalil yang  menunjukkan; 
Ø       Bolehnya  menyusun dzikir di dalam sholat yang tidak ma'tsur selama tidak menyalahi yang ma'tsur.
Ø       Boleh  mengeraskan suara berdzikir selama tidak mengganggu orang di  dekatnya.
Ø       Dan  bahwa orang yang bersin ketika sholat boleh mengucapkan al Hamdulillah tanpa ada  kemakruhan di situ". Demikian perkataan Ibnu Hajar.
Jadi  boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد "  dalam  sholat sekalipun karena tambahan kata sayyidina ini tambahan yang sesuai dengan  asal dan tidak bertentangan dengannya.[]
Langganan:
Komentar (Atom)
Agen pulsa all operator
SUPER TELKOMSEL PROMO ======================= 🍒 TMP5 = 4.975 🍒 TMP10 = 9.975 SUPER INDOSAT PROMO =============== 🧀 IMS5 = 5.395 🧀 IMS10...
- 
PERTANYAAN : Roofa Bintan Khalil Hadits : عليكم بالودود الولود، ولا تنكحوا الحمقاء فإن صحبتها بلاء وولدها ضياع utk tau si ga...
- 
Arakan, Burma - penderitaan kaum muslimin Rohingya di Arakan (Rakhine) atau mereka yang telah melarikan diri ke negara tetangga, belum be...
- 
Melalui Seni Rupa, Ingrid Mattson Mengenal Islam Juni 30, 2012 By ipet 3 Comments kisahmuallaf.com – Nama Ingrid Mattson sempat me...