BERBAHAGIALAH MENGEMBAN AMANAH
Oleh
Ummu Ihsan Al-Atsariyah
Sekecil apapun suatu pekerjaan jika dilakukan dengan hati terpaksa  diiringi keluh kesah, niscaya akan terasa berat bak menanggung beban  sebesar gunung. Sebaliknya, seberat apapun suatu pekerjaan jika  dilakukan dengan penuh keikhlasan, kegembiraan dan harapan, niscaya akan  terasa ringan dan menyenangkan. Memang benar! Tanggung jawab seorang  ibu tidaklah ringan. Tugas dan kewajiban yang dipikulnya tidaklah  sedikit Siapapun tak bisa menyangkal, seorang ibu rumah tangga  hampir-hampir tak mempunyai waktu istirahat. Pekerjaannya seolah selalu  tampak di depan mata tak pernah ada habisnya. Kalau seorang ayah bisa  tidur nyenyak di malam hari, lain halnya dengan seorang ibu. Tangis si  kecil terkadang mengusik tidur malamnya. 
Tugas seorang wanita begitu universal. Sebagai seorang permaisuri  pendamping suami, seorang ibu, pengasuh sekaligus guru bagi para  anaknya, bahkan sebagai pelayan yang harus selalu siap dipakai  tenaganya. Tak jarang para ibu merasa jenuh, letih dan menganggapnya  sebagai suatu himpitan yang begitu menyiksa. Inilah celah yang  dimanfaatkan setan untuk melancarkan aksinya. Bak gayung bersambut, para  wanita yang lemah imannya pun berbondong-bondong meninggalkan rumah  mereka. Mereka berusaha mencari solusi pemecahan dengan meneriakkan  slogan emansipasi dan menuntut persamaan hak dengan kaum pria. Mereka  menutup mata dari bahaya yang timbul akibat semua itu. Akibat amanah dan  tanggung jawab yang disia-siakan seorang ibu. Anak menjadi liar, suami  tidak lagi mendapatkan kedamaian. Akhirnya keharmonisan rumah-tangga pun  terancam.
 Kita sebagai wanita mukminah yang benar keimanannya. Ia tidak akan  mengadopsi solusi-solusi pemecahan yang hanya mengundang murka Allah  Azza wa Jalla. Jalan keluar yang hanya akan memicu munculnya  masalah-masalah baru yang lebih runyam. Lalu bagaimana caranya? Itulah  pertanyaan yang harus kita jawab. Salah satunya adalah dengan mengkaji  lebih dalam hikmah di balik tanggung jawab itu.
JERIH PAYAH KITA TIDAK SIA-SIA
Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat yang telah menciptakan manusia.  Sudah barang tentu, Dia pulalah yang paling mengetahui perkara-perkara  yang dapat mendatangkan mashlahat maupun mudharat. Dia pula yang paling  mengethui tugas dan amanat apa yang paling sesuai dan selaras bagi  masing-masing makhluk-Nya. Demikian halnya dengan kaum wanita. Allah  Subhanahu wa Ta'ala yang paling mengetahui tugas dan tanggung jawab apa  yang paling sesuai bagi kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَرْنَ في بُيُوْتِكُنَّ
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu." [Al Ahzab:33]
Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kaum wanita untuk melazimi  rumahnya. Bahkan hukumnya makruh bagi seorang wanita keluar dari  rumahnya, tanpa adanya suatu keperluan, berdasarkan ayat di atas dan  juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Wanita itu aurat, jika ia keluar maka akan diintai oleh setan. [HR At-Tirmidzi]
Sebagian kita kemudian bertanya : Mengapa wanita harus selalu tinggal di  rumah? Bukankah wanita juga mempunyai potensi? Bahkan tidak sedikit  kaum wanita yang memiliki tingkat intelegensi dan skill lebih dari kaum  pria. Bukankah kita mampu bersaing dengan kaum pria? Demikianlah  syubhat-syubhat yang sering dihembuskan setan dan bala tentaranya.  Sekarang mari kita renungkan!
Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa wanita adalah makhluk yang  lemah. Lemah dari segi fisik, lemah dalam akal maupun agamanya. Karena  itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga mereka dengan penjagaan  terbaik. Melindungi kaum wanita dengan sebaik-baik hijab yaitu rumah  mereka. Selain itu, realita membuktikan bahwa tugas-tugas di dalam rumah  tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan sempurna kecuali oleh seorang  wanita. Karena itulah Allah Yang Maha bijaksana menjadikan rumah sebagai  amanah bagi mereka. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi  wa sallam bersabda:
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
Seorang wanita adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga serta  anak-anaknya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang  dipimpinnya. [H.R.Muslim]
Sebuah amanah yang sudah selayaknya dijaga dan dilaksanakan sebaik-baiknya. 
Ketika menjelaskan beberapa sifat orang-orang yang beriman, Allah  Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan bahwa di antara sifat mereka adalah  menjaga amanah yang dibebankan di atas pundak mereka. Allah Subhanahu wa  Ta'ala berfirman.
وَالَّذِينَ لأََمنتهِم وَعَهْدِهِم راَعُون
Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya. [Al Mukminun:8]
Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan balasan bagi mereka seraya berfirman:
ءولئك هُمُ الوَارِثُون{10} الَّذِين يَرِثُونَ الفِرْدَوسَ هُم فِيهَا خَالِدُونَ
Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yakni yang akan mewarisi  jannah Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. [Al Mukminuun: 10-11]
Benar! Surga yang telah Allah janjikan. Lalu, adakah balasan yang lebih  baik dari itu? Bukankah surga merupakan cita-cita tertinggi setiap  pribadi muslim? Maka, sudah saatnya kita memompa semangat yang mulai  mengendur. Kita bangun kembali harapan yang mulai memudar. Kita sambut  tugas-tugas hari esok dengan penuh harapan. Dengan penuh keyakinan bahwa  jerih payah kita tidaklah sia-sia. Setiap tetesan keringat kita itu  memiliki nilai di sisi Allah Azza wa Jalla. 
BERKURANG IBADAH SETELAH MENIKAH ? 
Keluhan seperti ini kerap kali kita dengar dari mereka, yang dulunya  rajin bangun ditengah malam menegakkan qiyamullail (shalat malam), rajin  mengerjakan puasa-puasa sunah, tekun belajar, menghafal Al Qur'an,  menghadiri majelis ta'lim, dan lain sebagainya. Setelah menapaki  kehidupan rumah tangga tiba-tiba semuanya menjadi berubah dengan  kehadiran seorang suami, disusul lahirnya anak pertama, kedua, ketiga  dan seterusnya. Kini, kekhusu'an shalat sering terpecahkan deru tangis  sang bayi. Rasa letih kadang menghalanginya bangun di tengah malam.  Jangankan mengerjakan shaum sunah, shaum wajib pun kadang tak mampu ia  tunaikan. Saat sedang membaca tiba-tiba suami meminta untuk dilayani,  dan masih banyak lagi. Sekarang ia merasakan waktu menjadi sangat sempit  hingga terbersit dalam benaknya bahwa rumah tangga telah mengurangi  ibadahnya kepada Allah. Apa memang benar begitu? Benarkah keluarga  menghalangi seorang wanita untuk mendekatkan diri kepada Rabbnya?
Di sini kita perlu meluruskan persepsi. Mungkin anggapan itu benar, jika  yang dimaksud adalah ibadah-ibadah ritual seperti shalat, shaum, dan  yang semisalnya. Karena tugas dan tanggung jawab seorang wanita jelas  bertambah ketika ia telah menjadi ibu rumah tangga. Namun seorang  muslimah yang memahami makna ibadah dengan benar, tentu tidak akan  berasumsi semacam ini. 
Para ulama mengatakan, ibadah meliputi segala sesuatu yang disukai dan  diridhai Allah berupa perkataan dan perbuatan yang lahir maupun batin.  Segala aktivitas kita sehari-hari bisa bernilai ibadah. Dalam sebuah  hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
Dan mendatangi istri adalah shadaqah. [HR Muslim]
Dalam hadits lain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
Sesungguhnya, tidaklah engkau mengeluarkan nafkah dengan mengharap wajah  Allah kecuali engkau diganjari pahala atasnya hingga sesuatu yang  engkau suapkan ke dalam mulut istrimu. [HR Al-Bukhari]
Di dalam kitab Fathul Bari, Al Hafizd Ibnu Hajar menukil perkataan  An-Nawawi, "Faidah yang ingin dipetik dalam hadits ini, ialah sabda Nabi  Shallallahu 'alaihi wa sallam, "mengharap, yakni mencari, wajah Allah".
Imam An-Nawawi menarik sebuah faidah : Suatu aktifitas bilamana  bersesuaian dengan kebenaran, maka tidaklah mengurangi nilai pahalanya  (bila niatnya untuk beribadah). Sebab, menyuapkan tangan ke mulut istri  biasanya dilakukan saat bercanda dengannya. Tentu saja hal tersebut  bercampur dengan nafsu syahwat.
Namun demikian, bila tujuannya mengharap pahala Allah, niscaya ia akan memperolehnya dengan karunia dari Allah.
Ibnu Hajar melanjutkan : Dalam hadits lain disebutkan secara lebih  gamblang lagi dari sekedar menyuapkan tangan ke mulut istri. Yaitu  hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzar Radhiyallahu  'anhu, disebutkan : Dan mendatangi istrinya juga terhitung sedekah!.
Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apakah seseorang yang  melampiaskan syahwatnya juga mendapat pahala? Rasulullah berkata :  Bagaimanakah menurut kalian bila ia melampiaskannya pada saluran yang  haram?
Imam An-Nawawi melanjutkan : Jika demikianlah keadaannya, yakni perkara  yang dikehendaki oleh nafsu, tentu lebih layak bila ganjaran pahala itu  diberikan atas perkara yang tidak dikehendaki oleh nafsu!?
Beliau melanjutkan. Perumpamaan dengan menyuapkan tangan ke mulut istri  tujuannya adalah untuk lebih mempertegas kaidah ini. Sebab, bilamana  menyuapkan tangan ke mulut istri sekali suap saja sudah berpahala, tentu  pahala lebih layak diberikan kepada siapa yang memberi makan  orang-orang yang membutuhkan makanan, atau mengerjakan amalan ketaatan  yang tingkat kesulitannya lebih besar daripada sesuap nasi yang  diberikan kepada istri, yang tentu saja nilainya lebih rendah.
Lebih dari itu dapat dikatakan, jikalau pahala diberikan kepadanya  karena ia telah memberi makan istrinya, yang tentunya ia juga memperoleh  keuntungan darinya. Sebab makanan itu akan membuat tubuh istrinya  tampak lebih cantik. Dan biasanya nafkah yang ia berikan kepada istrinya  lebih banyak didorong oleh faktor nafsu. Tentu berbeda dengan  bersedekah kepada orang lain yang tentunya lebih banyak menuntut  pengorbanan, wallahu a'alam."
Jika sekarang ibadah ritual yang kita laksanakan berkurang, namun kita  memiliki kesempatan untuk melaksanakan ibadah dalam bentuk lain yang  tidak ia dapatkan semasa gadis. Berbakti dan berkhidmat kepada suami,  mendidik dan mengasuh anak-anak, mengatur urusan rumah tangga, dan lain  sebagainya. Di samping itu Islam adalah agama yang mudah dan fleksibel.  Di sela-sela kesibukan sehari-hari, masih banyak ibadah yang bisa kita  lakukan. Dengan senantiasa berdzikir, mempertebal rasa syukur, beramar  ma'ruf nahi munkar, memperbanyak tasbih, tahmid, takbir, tahlil, serta  istighfar.
JADIKAN SELURUH AKTIVITASMU SEBAGAI IBADAH
Bila suatu amal yang besar bisa hancur karena niat yang melenceng, maka  sebaliknya sebuah amal yang tampaknya sepele bisa menjadi sebuah ibadah  yang bernilai karena niat yang lurus. Sekilas, rutinitas seorang istri  sehari-hari memang tampak sepele. Seperti menyediakan hidangan, mengurus  pakaian, merapikan rumah, melayani suami dan lain sebagainya. Tidaklah  kita ingin semua itu menjadi ibadah yang bernilai. Tentu saja! Karena  itu, hendaknya setiap wanita menata hati dan menjaga ketulusan niat  semata-mata untuk meraih keridhaan Allah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa  Ta'a memerintahkan setiap istri untuk meraih ridha suami.
Kerjakanlah setiap tugasmu sebaik mungkin dan profesional untuk  mendapatkan keridhaan suami. Siapa wanita yang tidak mendambakan di  dunia suami semakin cinta dan di akhirat ia mendapat surga'?
Demikian juga halnya dengan tugas-tugas sebagai seorang ibu. Mengasuh  dan mendidik anak-anak kita, mendampingi dan membimbing mereka.  Hendaknya kita lakukan semua itu dengan mencurahkan segenap kemampuan  yang ada. Karena mereka adalah tabungan bagi kita, pada saat pahala  seluruh amalan telah terputus. Saat pahala shalat dan puasa tak lagi  bisa kita raih. Namun doa anak yang shalih, dan ilmu yang yang  bermanfaat yang kita ajarkan kepada mereka akan terus mengalirkan  pahala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ  إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ  صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ 
Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali  dari tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang  shalih yang selalu mendoakannya. [HR Muslim]
JANGANLAH ENGGAN BERDO'A
Sebagai insan yang lemah kita menyadari , bahwa kita tidak akan mampu  memikul amanah ini tanpa kekuatan dan pertolongan dari-Nya. Amanah ini  merupakan beban yang sangat berat kecuali jika Dia meringankannya. Akan  menjadi sesuatu yang sulit, kecuali jika Dia memudahkannya. 
Bukan suatu aib apabila kita banyak meminta dan berdoa kepada-Nya. Jadi,  apa salahnya jika setiap hendak memulai aktivitas pada pagi hari, kita  memohon kepadaNya agar dimudahkan dalam menyelesaikan semua tugas-tugas.
Akhirnya, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan semua usaha ini sebagai  bekal bagi kita kelak pada hari ketika anak dan kaum kerabat tak lagi  mempu mendatangkan manfaat, tidak juga kedudukan dan harta benda. 
Wallahu a’lamu bish shawab