Minggu, 30 September 2012

6: PENGARTIAN DOA

 JANGANLAH KARENA KELAMBATAN MASA PEMBERIAN TUHAN KEPADA KAMU, PADAHAL KAMU TELAH BERSUNGGUH-SUNGGUH BERDOA, MEMBUAT KAMU BERPUTUS ASA, SEBAB ALLAH MENJAMIN UNTUK MENERIMA SEMUA DOA, MENURUT APA YANG DIPILIH-NYA UNTUK KAMU, TIDAK MENURUT KEHENDAK KAMU, DAN PADA WAKTU YANG DITENTUKAN-NYA, TIDAK PADA WAKTU YANG KAMU TENTUKAN.

 Apabila kita berkehendak mendapatkan sesuatu sama ada duniawi maupun ukhrawi maka kita akan berusaha bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Jika usaha kita tidak mampu memperolehinya kita akan meminta pertolongan daripada orang yang mempunyai kuasa. Jika mereka juga tidak mampu membantu kita untuk mencapai hajat kita maka kita akan memohon pertolongan daripada Allah s.w.t, menadah tangan ke langit sambil air mata bercucuran dan suara yang merayu-rayu menyatakan hajat kepada-Nya. Selagi hajat kita belum tercapai selagi itulah kita bermohon dengan sepenuh hati.
Tidak ada kesukaran bagi Allah s.w.t untuk memenuhi hajat kita. Sekiranya Dia mengurniakan kepada kita semua khazanah yang ada di dalam bumi dan langit maka pemberian-Nya itu tidak sedikit pun mengurangi kekayaan-Nya. Andainya Allah s.w.t menahan dari memberi maka tindakan demikian tidak sedikit pun menambahkan kekayaan dan kemuliaan-Nya. Jadi, dalam soal memberi atau menahan tidak sedikit pun memberi kesan kepada ketuhanan Allah s.w.t. Ketuhanan-Nya adalah mutlak tidak sedikit pun terikat dengan kehendak, doa dan amalan hamba-hamba-Nya.

    Dan Allah berkuasa melakukan apa yang di kehendaki-Nya. ( Ayat 27 : Surah Ibrahim )
    Semuanya itu tunduk di bawah kekuasaan-Nya. ( Ayat 116 : Surah al-Baqarah )
    Ia tidak boleh ditanya tentang apa yang Ia lakukan, sedang merekalah yang akan ditanya kelak. ( Ayat 23 : Surah al-Anbiyaa’ )
    Sebagian besar daripada kita tidak sadar bahwa kita mensyirikkan Allah s.w.t dengan doa dan amalan kita. Kita jadikan doa dan amalan sebagai kuasa penentu atau setidak-tidaknya kita menganggapnya sebagai mempunyai kuasa tawar menawar dengan Tuhan, seolah-olah kita berkata, “Wahai Tuhan! Aku sudah membuat tuntutan maka Engkau wajib memenuhinya. Aku sudah beramal maka Engkau wajib membayar upahnya!” Siapakah yang berkedudukan sebagai Tuhan, kita atau Allah s.w.t? Sekiranya kita tahu bahwa diri kita ini adalah hamba maka berlagaklah sebagai hamba dan jagalah sopan santun terhadap Tuan kepada sekalian hamba-hamba. Hak hamba ialah rela dengan apa juga keputusan dan pemberian Tuannya.
    Doa adalah penyerahan bukan tuntutan. Kita telah berusaha tetapi gagal. Kita telah meminta pertolongan makhluk tetapi itu juga gagal. Apa lagi pilihan yang masih ada kecuali menyerahkan segala urusan kepada Tuhan yang di Tangan-Nya terletak segala perkara. Serahkan kepada Allah s.w.t dan tanyalah kepada diri sendiri mengapa Tuhan menahan kita dari memperolehi apa yang kita hajatkan? Apakah tidak mungkin apa yang kita inginkan itu boleh mendatangkan mudarat kepada diri kita sendiri, hingga lantaran itu Allah s.w.t Yang Maha Penyayang menahannya daripada sampai kepada kita? Bukankah Dia Tuhan Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang lagi Maha Mengetahui.
    Tidakkah Allah yang menciptakan sekalian makhluk itu mengetahui (segala-galanya)? Sedang Ia Maha Halus urusan Kehendakan-Nya, lagi Maha Mendalam Pengetahuan-Nya. ( Ayat 14 : Surah al-Mulk )
    Dialah yang mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata, (dan Dialah jua) yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. ( Ayat 18 : Surah at-Taghaabun )
    Apa saja ayat keterangan yang Kami mansuhkan (batalkan), atau yang Kami tinggalkan (atau tangguhkan), Kami datangkan ganti yang lebih baik daripadanya, atau yang sebanding dengannya. Tidakkah engkau mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu? ( Ayat 106 : Surah al-Baqarah )
    Allah s.w.t Maha Halus (Maha Terperinci/Detail), Maha Mengarti dan Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Allah s.w.t yang bersifat demikian menentukan buat diri-Nya yang apa saja yang Dia mansuhkan digantikannya dengan yang lebih baik atau yang sama baik. Dia boleh berbuat demikian karena Dia tidak bersekutu dengan siapa pun dan Dia Maha Berkuasa.
    Seseorang hamba senantiasa berhajat kepada pertolongan Tuhan. Apa yang dihajatinya disampaikannya kepada Tuhan. Semakin banyak hajatnya semakin banyak pula doa yang disampaikannya kepada Tuhan. Kadang-kadang berlaku satu permintaan berlawanan dengan permintaan yang lain atau satu permintaan itu menujung permintaan yang lain. Manusia hanya melihat kepada satu doa tetapi Allah s.w.t menerima kedatangan semua doa dari satu orang manusia itu. Manusia yang dikuasai oleh kalbu jiwanya berbalik-balik dan keinginan serta hajatnya tidak menetap. Tuhan yang menguasai segala perkara tidak berubah-ubah. Manusia yang telah meminta satu kebaikan boleh meminta pula sesuatu yang tidak baik atau kurang baik. Tuhan yang menentukan yang terbaik untuk hamba-Nya tidak berubah kehendak-Nya. Dia telah menetapkan buat Diri-Nya:
    Bertanyalah (wahai Muhammad): “Hak milik siapakah segala yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “(Semuanya itu) adalah milik Allah! Ia telah menetapkan atas diri-Nya memberi rahmat.” (Ayat 12 : Surah al-An’aam )
    Orang yang beriman selalu mendoakan:
    “Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari azab neraka”. ( Ayat 201 : Surah al-Baqarah )
    Hamba yang mendapat rahmat dari Allah s.w.t diterima doa di atas dan doa tersebut menjadi induk kepada segala doa-doanya. Doa yang telah diterima oleh Allah s.w.t menapis doa-doa yang lain. Jika kemudiannya si hamba meminta sesuatu yang mendatangkan kebaikan hanya kepada penghidupan dunia saja, tidak untuk akhirat dan tidak menyelamatkannya dari api neraka, maka doa induk itu menahan doa yang datang kemudian. Hamba itu dipelihara daripada didatangi oleh sesuatu yang menggerakkannya ke arah yang ditunjukkan oleh doa induk itu. Jika permintaannya sesuai dengan doa induk itu dia dipermudahkan mendapat apa yang dimintanya itu.
    Oleh sebab itu doa adalah penyerahan kepada Yang Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Menghadaplah kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya serta ucapkan, “Wahai Tuhanku Yang Maha Lemah-lembut, Maha Mengasihani, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana! Saya adalah hamba yang bersifat tergopoh gopoh, lemah dan jahil. Saya mempunyai hajat tetapi saya tidak mengetahui akibatnya bagiku, sedangkan Engkau Maha Mengetahui. Sekiranya hajatku ini baik akibatnya bagi dunia dan akhiratku dan melindungiku dari api neraka maka kurniakan ia kepada saya pada saat yang baik bagiku menerimanya. Jika kesudahannya buruk bagi dunia dan akhiratku dan mendorongku ke neraka, maka jauhkan ia daripa saya dan cabutkanlah keinginanku terhadapnya. Sesungguhnya Engkaulah Tuhanku Yang Maha Mengarti dan Maha Berdiri Dengan Sendiri”.
    Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dirancangkan berlakunya, dan Dialah juga yang memilih (satu-satu dari makhluk-Nya untuk sesuatu tugas atau keutamaan dan kemuliaan); tidaklah layak dan tidaklah berhak bagi siapapun memilih (selain dari pilihan Allah). Maha Suci Allah dan Maha Tinggilah keadaan-Nya dari apa yang mereka sekutukan dengan-Nya. { Ayat 68 : Surah al-Qasas }

5: MATA HATI YANG BUTA


 KERAJINAN KAMU UNTUK MEMPEROLEHI APA YANG TELAH TERJAMIN UNTUK KAMU DI SAMPING KELALAAIAN KAMU TERHADAP KEWAJIBAN YANG DIAMANATKAN MENUNJUKKAN BUTA MATA HATI.
    Hikmat 5 ini merupakan lanjutan kepada Hikmat yang lalu. Imam Ibnu Athaillah menceritakan kesan daripada hijab nafsu dan hijab akal yang menutup hati daripada melihat kepada takdir yang menjadi ketentuan Allah s.w.t. Ada tiga perkara yang dikemukakan untuk direnungi:
    1: Jaminan Allah s.w.t.
    2: Kewajiban hamba
    3: Mata hati yang mengenal jaminan Allah s.w.t dan kewajiban hamba.
    Penyingkapan rahasia mata hati adalah penting bagi memahami Kalam Hikmat di atas. Mata hati ialah
mata bagi hati atau boleh juga dikatakan kebolehan mengenal yang dimiliki oleh hati. Kadang-kadang mata hati ini dipanggil sebagai mata dalam. Istilah ‘mata dalam’ digunakan bagi membedakan istilah ini dengan mata yang zahir, yaitu yang dimiliki oleh diri zahir. Diri zahir terbentuk daripada daging, darah, tulang, sumsum, rambut, kulit dan lain-lain. Diri zahir ini berkebolehan untuk melihat, mendengar, mencium, merasa dan menyentuh. Diri zahir memperolehi kehidupan dari perjalanan darah ke seluruh tubuhnya dan aliran nyawa dalam bentuk uap atau gas yang keluar masuk melalui hidung dan mulut. Jika darahnya dikeringkan atau dibekukan ataupun jika aliran uap yang keluar masuk itu disekat maka diri zahir akan mengalami satu keadaan di mana sekalian bagiannya terhenti berfungsi dan ia dinamakan mati! Diri zahir ini jika disusun dapatlah dikatakan bahwa ia terdiri daripada tubuh dan nyawa serta deria-deria yang dapat mengenal sesuatu yang zahiriah. Pusat kawalannya ialah otak yang mengawal keberkahan deria-deria dan juga mencetuskan daya timbang atau akal fikiran.

    Diri batin juga mempunyai susunan yang sama separti diri zahir tetapi dalam keadaan ghaib. Ia juga mempunyai tubuh yang dipanggil kalbu atau hati. Hati yang dimaksudkan bukanlah segumpal daging yang berada di dalam tubuh. Ia merupakan hati rohani atau hati seni. Ia bukan kejadian alam kasar, sebab itu ia tidak dapat dikesan oleh pancaindera zahir. Ia termasuk di dalam perkara- perkara ghaib yang diistilahkan sebagai Latifah Rabbaniah atau hal yang menjadi rahasia ketuhanan. Apabila di dalam keadaan suci bersih ia dapat mendekati Tuhan. Ia juga yang menjadi tilikan Tuhan. Hati seni ini juga memiliki nyawa yang dibahasakan sebagai roh. Roh juga termasuk di dalam golongan Latifah Rabbaniah. Ia adalah urusan Tuhan dan manusia hanya mempunyai sedikit pengetahuan mengenainya.
    Katakan: “Roh itu dari perkara urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi ilmu pengetahuan melainkan sedikit saja”. ( Ayat 85 : Surah Bani Israil )
    Tubuh seni atau hati seni juga mempunyai sifat yang berkemampuan mencetuskan pemahaman dan pengetahuan. Ia dipanggil akal yang juga termasuk di dalam golongan Latifah Rabbaniah yang tidak mampu diuraikan. Akal jenis ini berguna bagi pengajian tentang ketuhanan. Tubuh zahir mempunyai deria-deria untuk mengenal perkara zahiriah. Deria-deria tersebut dipanggil penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan penyentuhan dan alat-alat yang bersangkutan ialah mata, telinga, hidung, lidah, tangan dan lain-lain. Tubuh seni atau diri batin juga mempunyai deria yang mengenal perkara ghaib dan deria ini dinamakan basirah atau mata hati. Ia berbeda daripada sifat melihat yang dimiliki oleh mata zahir. Mata zahir melihat perkara zahir dan mata hati syuhud atau menyaksikan kepada yang ghaib.
    Apa yang ada di sekeliling kita boleh dilihat melalui dua aspek yaitu yang nyata dilihat dengan mata zahir dan yang ghaib dilihat dengan mata hati. Jika kita ambil satu buku gula, mata kasar melihat sejenis hablur berwarna keputihan. Bila diletakkan pada lidah terasalah manisnya. Ketika menikmati kemanisan itu kita seolah-olah memandang jauh kepada sesuatu yang tidak ada di hadapan mata. Perbuatan merenung jauh itu sebenarnya adalah terjemahan kepada perbuatan mata hati memandang kepada hakikat gula yaitu manis. Bagaimana rupa manis tidak dapat diceritakan tetapi mata hati yang melihat kepadanya mengenal bahwa gula adalah manis. Jika mata zahir melihat sebilah pedang, maka mata hati akan melihat pada tajamnya. Jika mata zahir melihat kepada lada, mata hati melihat kepada pedasnya. Jadi, mata zahir mengenal dan membedakan rupa yang zahir sementara mata hati mengenal dan membedakan hakikat kepada yang zahir. Mata hati yang hanya berfungsi setakat mengenal manis, tajam, pedas dan yang seumpamanya masih dianggap sebagai mata hati yang buta. Mata hati hanya dianggap celik jika ia mampu melihat urusan ketuhanan di sebalik yang nyata dan yang tidak nyata.
    Kekuatan suluhan mata hati bergantung kepada kekuatan hati itu sendiri. Semakin bersih dan suci hati bertambah teranglah mata hati. Jika ia cukup terang ia bukan saja mampu melihat kepada yang tersembunyi di sebalik rupa yang zahir di sekeliling kita malah ia mampu melihat atau syuhud apa yang di luar daripada dunia. Dunia adalah segala sesuatu yang berada di dalam bulatan langit yang pertama atau langit dunia atau langit rendah. Langit rendah ini merupakan sempadan dunia. Selepas langit dunia dinamakan Alam Barzakh. Meninggal dunia membawa maksud roh yang rumahnya yaitu jasad telah tidak sesuai lagi didiaminya atau dipanggil sebagai mengalami kematian, dibawa keluar dari langit dunia dan ditempatkan di dalam Alam Barzakh.
    Fungsi mata hati ialah melihat yang hakiki. Mata hati yang mampu melihat dunia secara keseluruhan sebagai satu wujud akan mengenali apa yang hakiki tentang dunia itu. Oleh sebab penyaksian mata hati bersifat tidak dapat dinyatakan secara terang maka ia memerlukan ibarat untuk mendatangkan kefahaman. Ibarat yang biasa digunakan bagi menceritakan tentang hakikat dunia ialah: “Dunia adalah seorang perempuan yang sangat tua dan sangat bodoh. Tubuhnya kotor dan berpenyakit, menanah di sana sini dan ada bagiannya yang sudah dimakan ulat ”. Begitulah lebih kurang perasaan orang yang melihat kepada hakikat dunia dengan mata hatinya. Bagaimana rupa hakikat yang menyebabkan timbul perasaan dan ibarat yang demikian tidak dapat diuraikan.
    Mata hati yang lebih kuat mampu pula menyaksikan Alam Barzakh dan mengenali satu lagi hakikat yang dinamakan keabadian, yaitu sifat hari akhirat. Kematian membinasakan jasad dan kiamat membinasakan alam seluruhnya tetapi tidak membinasakan Roh yang padanya tergantung kitab amalan masing-masing. Ahli maksiat tidak dapat diselamatkan oleh kematian dan kiamat. Ahli taat yang tidak mendapat ganjaran yang setimpal di dunia tidak binasa ketaatannya oleh kematian dan kiamat. Tanggungjawab seseorang hamba akan terus dipikulnya melepasi kematian, Alam Barzakh, kiamat, Padang Mahsyar dan seterusnya menghadapi Pemerintah hari pembalasan. Tanggungjawab itu hanya gugur setelah Hakim Yang Maha Bijaksana dan Maha Adil lagi Maha Mengetahui serta Maha Perkasa menjatuhkan hukuman. Inilah hakikat yang ditemui oleh mata hati yang menyelami Alam Barzakh, bukan melihat roh orang mati di dalam kubur.
    Mata hati berfungsi mengenal perkara yang ghaib. Makrifat atau pengenalan kepada keabadian atau hari akhirat akan melahirkan kesungguhan pada menjalankan amanat Allah s.w.t yaitu mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Amanat itu akan terus dibawa oleh para hamba untuk diserahkan kembali kepada Allah s.w.t yang meletakkan amanat tersebut kepada mereka. Makrifat mata hati yang demikian melahirkan sifat takwa dan beramal salih. Apabila takwa dan amal salih menjadi sifat seorang hamba maka masuklah hamba itu ke dalam jaminan Allah s.w.t.
    Dialah Tuhan yang memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda keesaan-Nya dan kekuasaan-Nya (untuk menghidupkan rohani kamu), dan yang menurunkan (untuk jasmani kamu) sebab-sebab rezeki dari langit. Dan tiadalah yang ingat serta mengambil pelajaran (dari yang demikian) melainkan orang yang senantiasa bertumpu (kepada Allah). ( Ayat 13 : Surah al-Mu’min )
    Allah s.w.t berfirman dalam Hadis Qudsi:
    Hamba-Ku, taatilah semua perintah-Ku, jangan membeber keperluan kamu.
    Allah s.w.t sebagai Tuhan, Tuan atau Majikan tidak sekali-kali mengabaikan tanggungjawab-Nya untuk memberi rezeki kepada hamba-hamba-Nya sementara hamba-hamba pula berkewajiban mentaati Tuan mereka. Rezeki telah dijamin oleh Allah s.w.t dan untuk mendapatkan rezeki tersebut seseorang hamba hanya perlu bartindak sesuai dengan makamnya. Jika dia seorang ahli asbab maka bekerjalah ke arah rezekinya dan jangan iri hati terhadap rezeki yang dikurniakan kepada orang lain. Jika dia ahli tajrid maka bertawakallah kepada Allah s.w.t dan jangan gusar jika terjadi kelewatan atau kekurangan dalam urusan rezeki. Walau dalam makam manapun seseorang hamba itu berada dia mesti melakukan kewajiban yaitu bersungguh-sungguh mentaati Allah s.w.t dengan mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Hamba yang terbuka mata hatinya akan percaya dengan yakin terhadap jaminan Allah s.w.t dan tidak mengabaikan kewajibannya. Hamba ini akan melipat-gandakan kegiatan dan kerajinannya untuk bertakwa dan beramal salih tanpa mencurigai jaminan Allah s.w.t tentang rezekinya.
    Hamba yang buta mata hatinya akan berbuat yang berlawanan yaitu dia tekun dan rajin di dalam mencari rezeki yang dijamin oleh Allah s.w.t tetapi dia mengabaikan tanggungjawab yang diamanatkan oleh Allah s.w.t. Orang ini akan menggunakan daya usaha yang banyak untuk memperolehi rezeki yang boleh didapati dengan daya usaha yang sederhana tetapi menggunakan daya usaha yang sedikit dengan harapan untuk mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin didapati kecuali dengan daya usaha yang gigih dan perjuangan yang hebat yaitu pahala-pahala bagi amal salih.
    Mata hati melihat kepada yang hak dalam keghaiban. Nafsu yang hanya berminat dengan kebendaan yang nyata menutupi yang hak itu dan akal mengadakan hujah untuk menguatkan keraguan yang tumbuh pada nafsu. Perkara ghaib disaksikan dengan keyakinan. Jika nafsu dan akal bersepakat mengadakan keraguan, kebenaran yang ghaib akan terhijab. Orang yang mencari kebenaran tetapi gagal menundukkan nafsu dan akalnya akan berputar-pusing di tempat yang sama. Keyakinan dan keraguan senantiasa berperang dalam jiwanya.

2: AHLI ASBAB DAN AHLI TAJRID


KEINGINAN KAMU UNTUK BERTAJRID PADAHAL ALLAH MASIH MELETAKKAN KAMU DALAM SUASANA ASBAB ADALAH SYAHWAT YANG SAMAR, SEBALIKNYA KEINGINAN KAMU UNTUK BERASBAB PADAHAL ALLAH TELAH MELETAKKAN KAMU DALAM SUASANA TAJRID BERARTI TURUN DARI SEMANGAT DAN TINGKAT YANG TINGGI.


 Hikmat 1 menerangkan tanda orang yang bersandar kepada amal. Bergantung kepada amal adalah sifat manusia biasa yang hidup dalam dunia ini. Dunia ini dinamakan alam asbab. Apabila perjalanan hidup keduniaan dipandang melalui mata ilmu atau mata akal akan dapat disaksikan kerapian susunan sistem sebab musabab yang mempengaruhi segala kejadian. Tiap sesuatu berlaku menurut sebab yang menyebabkan ia berlaku. Hubungan sebab dengan akibat sangat erat. Mata akal melihat dengan jelas keberkahan sebab dalam menentukan akibat. Kerapian sistem sebab musabab ini membolehkan manusia mengambil manfaat daripada anasir dan kejadian alam. Manusia dapat menentukan anasir yang boleh memudaratkan kesehatan lalu menjauhkannya dan manusia juga boleh menentukan anasir yang boleh menjadi obat lalu menggunakannya. Manusia boleh membuat ramalan cuaca, pasang surut air laut, angin, ombak, letupan gunung berapi dan lain-lain karena sistem yang mengawal perjalanan anasir alam berada dalam suasana yang sangat rapi dan sempurna, membentuk hubungan sebab dan akibat yang padu.

    Allah s.w.t mengadakan sistem sebab musabab yang rapi adalah untuk kemudahan manusia menyusun kehidupan mereka di dunia ini. Kekuatan akal dan pancaindera manusia mampu menkehendak kehidupan yang dikaitkan dengan perjalanan sebab musabab. Hasil daripada penelitian dan kajian akal itulah lahir berbagai-bagai jenis ilmu tentang alam dan kehidupan, separti ilmu sains, astronomi, kedoktoran, teknologi maklumat dan sebagainya. Semua jenis ilmu itu dibentuk berdasarkan perjalanan hukum sebab-akibat.
    Kerapian sistem sebab musabab menyebabkan manusia terikat kuat dengan hukum sebab-akibat. Manusia bergantung kepada amal (sebab) dalam mendapatkan hasil (akibat). Manusia yang melihat kepada keberkahan sebab dalam menentukan akibat serta bersandar dengannya dinamakan ahli asbab.
    Sistem sebab musabab atau perjalanan hukum sebab-akibat sering membuat manusia lupa kepada kekuasaan Allah s.w.t. Mereka melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan bahwa akibat akan lahir daripada sebab, seolah-olah Allah s.w.t tidak ikut campur dalam urusan mereka. Allah s.w.t tidak suka hamba-Nya ‘mempertuhankan’ sesuatu kekuatan sehingga mereka lupa kepada kekuasaan-Nya. Allah s.w.t tidak suka jika hamba-Nya sampai kepada tahap mempersekutukan diri-Nya dan kekuasaan-Nya dengan anasir alam dan hukum sebab-akibat ciptaan-Nya. Dia yang meletakkan keberkahan kepada anasir alam berkuasa membuat anasir alam itu lemah semulai. Dia yang meletakkan kerapian pada hukum sebab-akibat berkuasa merombak hukum tersebut. Dia mengutuskan rasul-rasul dan nabi-nabi membawa mukjizat yang merombak hukum sebab-akibat bagi mengembalikan pandangan manusia kepada-Nya, agar paham sebab musabab tidak menghijab ketuhanan-Nya. Kelahiran Nabi Isa a.s, terbelahnya laut dipukul oleh tongkat Nabi Musa a.s, kehilangan kuasa membakar yang ada pada api tatkala Nabi Ibrahim a.s masuk ke dalamnya, keluarnya air yang jernih dari jari-jari Nabi Muhammad s.a.w dan banyak lagi yang didatangkan oleh Allah s.w.t, merombak hukum sebab-akibat bagi menyadarkan manusia tentang hakikat bahwa kekuasaan Allah s.w.t yang meliputi perjalanan alam maya dan hukum sebab-akibat. Alam dan hukum yang ada padanya seharusnya membuat manusia mengenal Tuhan, bukan menutup pandangan kepada Tuhan. Sebagian daripada manusia diselamatkan Allah s.w.t daripada paham sebab musabab.
    Sebagai manusia yang hidup dalam dunia mereka masih bergerak dalam arus sebab musabab tetapi mereka tidak meletakkan hukum kepada sebab. Mereka senantiasa melihat kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan atau mencabut keberkahan pada sesuatu hukum sebab-akibat. Jika sesuatu sebab berjaya mengeluarkan akibat menurut yang biasa terjadi, mereka melihatnya sebagai kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan kekuatan kepada sebab tersebut dan Allah s.w.t juga yang mengeluarkan akibatnya. Allah s.w.t berfirman:
    Segala yang ada di langit dan di bumi tetap mengucap tasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. Dialah saja yang menguasai dan memiliki langit dan bumi; Ia menghidupkan dan mematikan; dan Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. ( Ayat 1 & 2 : Surah al-Hadiid )
    Maka Kami (Allah) berfirman: “Pukullah si mati dengan sebagian anggota lembu yang kamu sembelih itu”. (Mereka pun memukulnya dan ia kembali hidup). Demikianlah Allah menghidupkan orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda kekuasaan-Nya, supaya kamu memahaminya. ( Ayat 73 : Surah al-Baqarah )
    Orang yang melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t meliputi hukum sebab-akibat tidak meletakkan keberkahan kepada hukum tersebut. Pergantungannya kepada Allah s.w.t, tidak kepada amal yang menjadi sebab. Orang yang separti ini dipanggil ahli tajrid.
    Ahli tajrid, separti juga ahli asbab, melakukan sesuatu menurut peraturan sebab-akibat. Ahli tajrid juga makan dan minum Ahli tajrid memanaskan badan dan memasak dengan menggunakan api juga. Ahli tajrid juga melakukan sesuatu pekerjaan yang berhubung dengan rezekinya. Tidak ada perbedaan di antara amal ahli tajrid dengan amal ahli asbab. Perbedaannya terletak di dalam diri yaitu hati. Ahli asbab melihat kepada kekuatan hukum alam. Ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t pada hukum alam itu. Walaupun ahli asbab mengakui kekuasaan Allah s.w.t tetapi penghayatan dan kekuatannya pada hati tidak sekuat ahli tajrid.
    Dalam melakukan kebaikan ahli asbab perlu melakukan mujahadah. Mereka perlu memaksa diri mereka berbuat baik dan perlu menjaga kebaikan itu agar tidak menjadi rusak. Ahli asbab perlu memperingatkan dirinya supaya berbuat ikhlas dan perlu melindungi keikhlasannya agar tidak dirusakkan oleh ria (berbuat baik untuk diperlihatkan kepada orang lain agar dia dikatakan orang baik), takabur (sombong dan membesar diri, merasakan diri sendiri lebih baik, lebih tinggi, lebih kuat dan lebih cerdik daripada orang lain) dan sama’ah (membawa perhatian orang lain kepada kebaikan yang telah dibuatnya dengan cara bercerita mengenainya, agar orang mengakui bahwa dia adalah orang baik). Jadi, ahli asbab perlu memelihara kebaikan sebelum melakukannya dan juga selepas melakukannya. Suasana hati ahli tajrid berbeda daripada apa yang dialami oleh ahli asbab. Jika ahli asbab memperingatkan dirinya supaya ikhlas, ahli tajrid tidak melihat kepada ikhlas karena mereka tidak bersandar kepada amal kebaikan yang mereka lakukan. Apa juga kebaikan yang keluar daripada mereka diserahkan kepada Allah s.w.t yang mengurniakan kebaikan tersebut. Ahli tajrid tidak perlu menentukan perbuatannya ikhlas atau tidak ikhlas. Melihat keihklasan pada perbuatan sama dengan melihat diri sendiri yang ikhlas. Apabila seseorang merasakan dirinya sudah ikhlas, padanya masih tersembunyi keegoan diri yang membawa kepada ria, ujub (merasakan diri sendiri sudah baik) dan sama’ah. Apabila tangan kanan berbuat ikhlas dalam keadaan tangan kiri tidak menyadari perbuatan itu barulah tangan kanan itu benar-benar ikhlas. Orang yang ikhlas berbuat kebaikan dengan melupakan kebaikan itu. Ikhlas sama separti harta benda. Jika seorang miskin diberi harta oleh jutawan, orang miskin itu malu menepak dada kepada jutawan itu dengan mengatakan yang dia sudah kaya. Orang tajrid yang diberi ikhlas oleh Allah s.w.t mengembalikan kebaikan mereka kepada Allah s.w.t. Jika harta orang miskin itu hak si jutawan tadi, ikhlas orang tajrid adalah hak Allah s.w.t. Jadi, orang asbab bergembira karena melakukan perbuatan dengan ikhlas, orang tajrid pula melihat Allah s.w.t yang menkehendak sekalian urusan. Ahli asbab dibawa kepada syukur, ahli tajrid berada dalam penyerahan.
    Kebaikan yang dilakukan oleh ahli asbab merupakan teguran agar mereka ingat kepada Allah s.w.t yang memimpin mereka kepada kebaikan. Kebaikan yang dilakukan oleh ahli tajrid merupakan kurniaan Allah s.w.t kepada kumpulan manusia yang tidak memandang kepada diri mereka dan kepentingannya. Ahli asbab melihat kepada keberkahan hukum sebab-akibat. Ahli tajrid pula melihat kepada keberkahan kekuasaan dan ketentuan Allah s.w.t. Dari kalangan ahli tajrid, Allah s.w.t memilih sebagiannya dan meletakkan kekuatan hukum pada mereka. Kumpulan ini bukan sekadar tidak melihat kepada keberkahan hukum sebab-akibat, malah mereka berkekuatan menguasai hukum sebab-akibat itu. Mereka adalah nabi-nabi dan wali-wali pilihan. Nabi-nabi dianugerahkan mukjizat dan wali-wali dianugerahkan kekeramatan. Mukjizat dan kekeramatan merombak keberkahan hukum sebab-akibat.
    Di dalam kumpulan wali-wali pilihan yang dikurniakan kekuatan mengawal hukum sebab-akibat itu terdapatlah orang-orang separti Syeikh Abdul Kadir al-Jailani, Abu Hasan as-Sazili, Rabiatul Adawiah, Ibrahim Adham dan lain-lain. Cerita tentang kekeramatan mereka sering diperdengarkan. Orang yang cenderung kepada tarekat tasauf gemar menjadikan kehidupan aulia Allah s.w.t tersebut sebagai contoh, dan yang mudah memikat perhatian adalah bagian kekeramatan. Kekeramatan biasanya dikaitkan dengan perilaku kehidupan yang zuhud dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Timbul anggapan bahwa jika mau memperolehi kekeramatan separti mereka mestilah hidup sebagaimana mereka. Orang yang berada pada peringkat permulaian bertarekat cenderung untuk memilih jalan bertajrid yaitu membuang segala ikhtiar dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Sikap melulu bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, isteri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Semua harta disedekahkan karena dia melihat Saidina Abu Bakar as-Siddik telah berbuat demikian. Ibrahim bin Adham telah meninggalkan takhta kerajaan, isteri, anak, rakyat dan negerinya lalu tinggal di dalam gua. Biasanya orang yang bartindak demikian tidak dapat bertahan lama. Kesudahannya dia mungkin meninggalkan kumpulan tarekatnya dan kembali kepada kehidupan duniawi. Ada juga yang kembali kepada kehidupan yang lebih buruk daripada keadaannya sebelum bertarekat dahulu karena dia mau menebus kembali apa yang telah ditinggalkannya dahulu untuk bertarekat. Keadaan yang demikian berlaku akibat bertajrid secara melulu. Orang yang baru masuk ke dalam bidang latihan kerohanian sudah mau beramal separti aulia Allah s.w.t yang sudah berpuluh-puluh tahun melatihkan diri. Tindakan mencampak semua yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatnya berhadapan dengan cobaan dan dugaan yang boleh menggoncangkan imannya dan mungkin juga membuatnya berputus-asa. Apa yang harus dilakukan bukanlah meniru kehidupan aulia Allah s.w.t yang telah mencapai makam yang tinggi secara melulu. Seseorang haruslah melihat kepada dirinya dan mengenal pasti kedudukannya, kemampuanya dan daya-tahannya. Ketika masih di dalam makam asbab seseorang haruslah bartindak sesuai dengan hukum sebab-akibat. Dia harus bekerja untuk mendapatkan rezekinya dan harus pula berusaha menjauhkan dirinya daripada bahaya atau kemusnahan.
    Ahli asbab perlu berbuat demikian karena dia masih lagi terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih lagi melihat bahwa tindakan makhluk memberi kesan kepada dirinya. Oleh yang demikian adalah wajar sekiranya dia mengadakan juga tindakan yang menurut pandangannya akan mendatangkan kesejahteraan kepada dirinya dan orang lain. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang pada kedudukan sebagai ahli asbab ialah apabila urusannya dan tindakannya yang menurut kesesuaian hukum sebab-akibat tidak menyebabkannya mengabaikan kewajiban terhadap tuntutan agama. Dia tetap merasa ringan untuk berbakti kepada Allah s.w.t, tidak lalai dengan nikmat duniawi dan tidak merasa iri hati terhadap orang lain. Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum asbab maka jiwanya akan maju dan berkembang dengan baik tanpa menghadapi kegoncangan yang besar yang boleh menyebabkan dia berputus asa dari rahmat Allah s.w.t. Rohaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan menolaknya ke dalam makam tajrid secara selamat. Akhirnya dia mampu untuk bertajrid sepenuhnya.
    Ada pula orang yang dipaksa oleh takdir supaya bertajrid. Orang ini asalnya adalah ahli asbab yang berjalan menurut hukum sebab-akibat sebagaimana orang banyak. Kemungkinannya kehidupan separti itu tidak menambahkan kematangan rohaninya. Perubahan jalan perlu baginya supaya dia boleh maju dalam bidang kerohanian. Oleh itu takdir bartindak memaksanya untuk terjun ke dalam lautan tajrid. Dia akan mengalami keadaan di mana hukum sebab-akibat tidak lagi membantunya untuk menyelesaikan masalahnya. Sekiranya dia seorang raja, takdir mencabut kerajaannya. Sekiranya dia seorang hartawan, takdir menghapuskan hartanya. Sekiranya dia seorang yang cantik, takdir menghilangkan kecantikannya itu. Takdir memisahkannya daripada apa yang dimiliki dan dikasihinya. Pada peringkat permulaian menerima kedatangan takdir yang demikian, sebagai ahli asbab, dia berikhtiar menurut hukum sebab-akibat untuk mempertahankan apa yang dimiliki dan dikasihinya. Jika dia tidak terdaya untuk menolong dirinya dia akan meminta pertolongan orang lain. Setelah puas dia berikhtiar termasuklah bantuan orang lain namun, tangan takdir tetap juga merombak sistem sebab-akibat yang terjadi ke atas dirinya. Apabila dia sendiri dengan dibantu oleh orang lain tidak mampu mengatasi arus takdir maka dia tidak ada pilihan kecuali berserah kepada takdir. Dalam keadaan begitu dia akan lari kepada Allah s.w.t dan merayu agar Allah s.w.t menolongnya. Pada peringkat ini seseorang itu akan kuat beribadat dan menumpukan sepenuh hatinya kepada Tuhan. Dia benar-benar berharap Tuhan akan menolongnya mengembalikan apa yang pernah dimilikinya dan dikasihinya. Tetapi, pertolongan tidak juga sampai kepadanya sehinggalah dia benar-benar terpisah dari apa yang dimiliki dan dikasihinya itu. Luputlah harapannya untuk memperolehinya kembali. Relalah dia dengan perpisahan itu. Dia tidak lagi merayu kepada Tuhan sebaliknya dia menyerahkan segala urusannya kepada Tuhan. Dia menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t, tidak ada lagi ikhtiar, pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah s.w.t yang bertajrid. Apabila seseorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah s.w.t sendiri akan menguruskan kehidupannya. Allah s.w.t menggambarkan suasana tajrid dengan firman-Nya:
    Dan (ingatlah) berapa banyak binatang yang tidak membawa rezekinya bersama, Allah jualah yang memberi rezeki kepadanya dan kepada kamu; dan Dialah jua Yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. ( Ayat 60 : Surah al-‘Ankabut )
    Makhluk Allah s.w.t separti burung, ikan, kuman dan sebagainya tidak memiliki tempat simpanan makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rezeki mereka oleh Allah s.w.t. Jaminan Allah s.w.t itu meliputi juga bangsa manusia. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang hamba-Nya di dalam makam tajrid ialah Allah s.w.t memudahkan baginya rezeki yang datang dari arah yang tidak diduganya. Jiwanya tetap tenteram sekalipun terjadi kekurangan pada rezeki atau ketika menerima bala ujian.
    Sekiranya ahli tajrid sengaja memindahkan dirinya kepada makam asbab maka ini bermakna dia melepaskan jaminan Allah s.w.t lalu bersandar kepada makhluk . Ini menunjukkan akan kejahilannya tentang rahmat dan kekuasaan Allah s.w.t. Tindakan yang jahil itu boleh menyebabkan berkurangan atau hilang terus keberkatan yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Misalnya, seorang ahli tajrid yang tidak mempunyai sebarang pekerjaan kecuali membimbing orang banyak kepada jalan Allah s.w.t, walaupun tidak mempunyai sebarang pekerjaan namun, rezeki datang kepadanya dari berbagai-bagai arah dan tidak pernah putus tanpa dia meminta-minta atau mengharap-harap. Pengajaran yang disampaikan kepada murid-muridnya sangat berkesan sekali. Keberkatannya amat ketara separti makbul doa dan ucapannya biasanya menjadi kenyataan. Andainya dia meninggalkan suasana bertajrid lalu berasbab karena tidak puas hati dengan rezeki yang diterimanya maka keberkatannya akan terlepas. Pengajarannya, doanya dan ucapannya tidak seberkesan dahulu lagi. Ilham yang datang kepadanya tersekat-sekat dan kefasihan lidahnya tidak selancar biasa.
    Seseorang hamba haruslah menerima dan rido dengan kedudukan yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Berserahlah kepada Allah s.w.t dengan yakin bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah s.w.t tahu apa yang patut bagi setiap makhluk-Nya. Allah s.w.t sangat bijak mengatur urusan hamba-hamba-Nya.
    Keinginan kepada pertukaran makam merupakan tipu daya yang sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan nafsu yang sukar disadari. Nafsu di sini merangkumi kehendak, cita-cita dan angan-angan. Orang yang baru terbuka pintu hatinya setelah lama hidup di dalam kelalaian, akan mudah tergerak untuk meninggalkan suasana asbab dan masuk ke dalam suasana tajrid. Orang yang telah lama berada dalam suasana tajrid, apabila kesadaran dirinya kembali sepenuhnya, ikut kembali kepadanya adalah keinginan, cita-cita dan angan-angan. Nafsu mencoba untuk bangkit semulai menguasai dirinya. Orang asbab perlulah menyadari bahwa keinginannya untuk berpindah kepada makam tajrid itu mungkin secara halus digerakkan oleh ego diri yang tertanam jauh dalam jiwanya. Orang tajrid pula perlu sadar keinginannya untuk kembali kepada asbab itu mungkin didorong oleh nafsu rendah yang masih belum berpisah dari hatinya. Ulama tasauf mengatakan seseorang mungkin dapat mencapai semua makam nafsu, tetapi nafsu peringkat pertama tidak kunjung padam. Oleh yang demikian perjuangan atau mujahadah mengawasi nafsu senantiasa berjalan.

Agen pulsa all operator

 SUPER TELKOMSEL PROMO ======================= 🍒 TMP5 = 4.975 🍒 TMP10 = 9.975 SUPER INDOSAT PROMO =============== 🧀 IMS5 = 5.395 🧀 IMS10...