Senin, 15 Agustus 2022

CINTA UMAR YANG TAK KESAMPAIAN


Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 


Siapa yang tidak mengenal Umar bin Abdul Aziz.  Seorang khalifah yang lurus, pemimpin yang sangat wara’, zuhud, bersih, dan peduli pada rakyatnya. Beliau bahkan disebut-sebut sebagai khulafa’ur rasyidin ke-5.


Khalifah yang mulia ini ternyata memiliki cerita unik terkait kisah asmara yang dialami dalam kehidupannya. Yang memberikan keteladanan kepada kita bagaimana cinta beliau kepada Allah murni tidak tertandingi, mengalahkan segala cinta kepada apapun dan siapapun. 


Umar bin Abdul Aziz pada masa mudanya seperti selebriti yang digandrungi  banyak orang. Seorang pemuda tampan anak bangsawan, cerdas, shalih serta memiliki segudang prestasi.


 Bahkan Life style Umar bin Abdul Aziz kala itu sampai memunculkan icon : Cara berpakaian Umar, cara bicara Umar, parfum Umar, gaya berjalan Umar, dan sebagainya.


Dan Umar bin abdul Aziz  bisa dikatakan sukses dalam meraih semua cita –cita dan mewujudkan impian dalam kehidupannya.


Sewaktu masih lajang, ia bercita-cita memperistri Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, putri cantik jelita anak khalifah yang sangat terkenal itu. Maka ia persiapkan dirinya sedemikian rupa, agar dapat memenangkan “kompetisi” dalam “memperebutkan” Fathimah binti Abdul Malik. Dan akhirnya, berhasil lah ia menikahi Fatimah.


Lalu, ia pun bercita-cita ingin menjadi gubernur Madinah, satu jabatan yang paling bergengsi pada zaman itu. Maka ia pun mempersiapkan diri sebaik-baiknya, baik dari sisi kapasitas moral maupun ilmu. Dan akhirnya, cita-cita ini pun berhasil ia raih.


Hingga kita ketahui kariernya berada dipuncak saat beliau diangkat menjadi khalifah. 


Namun ada satu cita-cita Umar yang tidak pernah terwujud, yakni keinginannya untuk menikahi seorang wanita cantik jelita yang menjadi budak Istrinya, Fatimah. Cinta Umar yang begitu besar sebenarnya diketahui oleh Istrinya, namun karena kecemburuannya, Fatimah tidak bersedia Umar berpoligami. 


Sekian tahun cinta itu menggelora namun tidak pernah tersampaikan, baik Umar maupun budak tersebut tidak melakukan hal apapun yang akan melukai hati Fatimah. Ketika Fatimah tidak menyetujui, mereka sama-sama menahan diri.


 Ini cinta segitiga yang indah, Umar sangat mencintai Fatimah sebagaimana budak tersebut juga sangat mencintai tuan putrinya sebesar cintanya kepada Umar bin Abdul Aziz. Diriwayatkan budak tersebut sering menangis karena menahan cintanya kepada Umar bin Abdul Aziz. 


Sampai setelah sekian lama berjalan. Fatimah merasa iba kepada suaminya, juga kepada budaknya. Dia tahu betapa Umar sangat mencintai budaknya tersebut, begitu pula sebaliknya. Sampai pada suatu malam ia mengutarakan maksudnya untuk menyerahkan budak tersebut kepada Umar untuk dinikahi.


 Namun di luar dugaan, keinginan sang istri ditolak oleh Umar bin Abdul Aziz. Karena ternyata momentum penghibahan itu terjadi setelah beliau memiliki cita-cita baru ; segera ingin masuk syurga. 


Sementara Umar bin Abdul Aziz tahu betul bahwa syurga itu diperuntukkan bagi seseorang yang memenuhi kriteria tertentu, yang diantaranya adalah firman Allah ta’ala :


وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ . فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِیَ ٱلۡمَأۡوَىٰ 


 “Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat kembalinya.”


Umar berkata, “Tidak wahai istriku, aku ingin menahan nafsu terbesarku itu, agar kelak Dia merahmatiku dengan syurgaNya.”


  Umar kemudian menyerahkan budak tersebut kepada salah satu prajuritnya. Namun prajuritnya tersebut menolak, karena dia tahu bagaimana cinta Umar kepada budak wanita tersebut.


 Namun Umar bersikeras agar sang prajurit itu segera membawa pergi budak wanita itu. Budak perempuan itu pun menangis pilu seraya berkata : “Kalau begini jadinya wahai Amiral Mukminin, mana bukti cintamu selama ini ?”


Umar menjawab : “Cinta itu tetap ada di dalam hatiku, bahkan hari ini jauh lebih kuat daripada hari yang telah lalu. Akan tetapi, kalau aku menerimamu, aku khawatir tidak termasuk dalam golongan orang yang “menahan dirinya dari keinginan hawa nafsu.”


Fatimah pun turut menangis. Tangis yang ternyata bersambung dengan tangisan kewafatan khalifah yang mulia Umar bin Abdul Aziz beberapa hari kemudian.


Semoga Allah merahmatimu wahai Umar, engkau telah tinggalkan keteladanan yang berharga tentang cara menempatkan cinta...

____

Ref : Ad Da' wa Dawa' hal. 259

Sabtu, 13 Agustus 2022

DAHI TERTUTUP KETIKA SUJUD ; SAHKAH ?

 



Izin mau nanyak kiyai, bagaimana hukumnya orang yang shalat dahinya tertutup oleh songkok atau imamah sampai dahinya tidak terlihat dan tidak menyentuh tempat sujud sama sekali ?


Jawaban


Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 


Mayoritas ulama Sepakat bahwa dahi adalah bagian yang wajib menyentuh tempat sujud di kala bersujud dalam shalat. Dalam makna, tidak sah shalat seseorang yang melakukan sujud dengan sengaja tidak meletakkan wajahnya ke tempat sujudnya.


Hal ini berdasarkan dalil :


قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ


   Nabi ﷺ bersabda: “Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan (yaitu) dahi –dan beliau menunjuk hidungnya dengan tangannya-, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Berkata Syaikh Mustafa Khin rahimahullah :


يشترط لصحة السجود مراعاة الأمور التالية: كشف الجبهة عند ملامستها الأرض...


“Dan disyaratkan untuk sahnya sujud adalah menjaga beberapa perkara berikut ini : Terbukanya dahi ketika bersentuhan dengan lantai (tempat sujud)...”[1]


Lantas bagaimana bila wajah yang diletakkan di lantai untuk sujud itu terhalang benda semisal kain, kertas dan lainnya ?


 Penghalang wajah dengan dengan tempat sujud terbagi menjadi dua ; Pertama penghalang yang diletakkan dilantai, semisal sejadah yang tidak turut bergerak bersama orang yang sedang shalat, dan kedua penghalang yang menghalangi wajah dari tempat sujud yang turut bergerak bersama orang yang shalat, seperti surban, kopiah atau rambut.


Untuk penghalang kategori pertama, semisal sajadah atau karpet yang dihamparkan untuk shalat,  ulama sepakat bahwa itu tidak menghalangi sahnya sujud seseorang. Karena yang demikian ia dianggap sebagai bagian tempat sujud itu sendiri dan ada riwayat yang menjadi legalitas kebolehannya.


عنْ جَابِرٍ قال : حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي عَلَى حَصِيرٍ يَسْجُدُ عَلَيْهِ.قَالَ : وَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ مُتَوَشِّحًا بِهِ


Jabir berkata: "Abu Said al-Khudry pernah masuk ke rumah Rasulullah ﷺ Abu Sa'id berkata: "Aku melihat Rasulullah ﷺ sedang shalat di atas tikar, tempat beliau bersujud di atasnya. Abu Said berkata kembali: "Saya melihat Rasulullah shalat dalam satu baju yang menyelimutinya." (HR. Muslim).


Lalu bagaimana dengan penghalang sujud kategori yang kedua, yakni yang ikut bergerak bersama badan seseorang ? 


Seperti baju yang menjulur, surban, imamah dan kopiah ? Ulama madzhab berselisih pendapat mengenai hukumnya. Berikut penjelasannya.


Hukum bersujud di atas kain yang bergerak bersama mushalli


 Kain yang dikenakan oleh orang yang shalat, yang berpotensi menghalangi kening dari tempat sujud adalah imamah (surban) dan kopiah yang dikenakkan atau bisa pula rambut seeorang yang panjang dan kemudian menjuntai ke depan.


  Permasalahan ini secara rincian hukum juga terbagi menjadi dua kasus : pertama, Kopiah atau surban tersebut menghalangi secara keseluruhan dahi dari tempat sujud dan kedua, Penghalang hanya menutupi sebagian wajah/dahi.


1. Penghalang menutupi semua bagian dahi.


A. Sah menurut mayoritas madzhab


      Mayoritas ulama madzhab yaitu dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah berpendapat bahwa hal ini tidak menghalangi sahnya shalat. Sujud diperkenankan meskipun semua bagian dahi terhalang oleh kain atau rambut dari tempat sujud. Disebutkan dalam al Mausu’ah :


ذهب جمهور الفقهاء وهم الحنفية والمالكية والحنابلة، وجمع من علماء السلف، كعطاء وطاوس والنخعي والشعبي والأوزاعي إلى عدم وجوب كشف الجبهة واليدين والقدمين في السجود، ولا تجب مباشرة شيء من هذه الأعضاء بالمصلى بل يجوز السجود على كمه وذيله ويده وكور عمامته وغير ذلك مما هو متصل بالمصلي


Mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah dan sekelompok ulama salaf terdahulu seperti imam Atha’ Thawus, an Nakha’i, asy Sya’bi dan Auza’i berpendapat tidak adanya kewajiban harus membuka dahi, kedua tangan dan kedua kaki di dalam sujud. 


Dan tidak ada pula kewajiban dari anggota sujud ini untuk bersentuhan langsung (dengan tempat sujud). Tapi dibolehkan sujud meski terhalang kedua tangannya dengan lengan baju, atau juluran imamah atau yang selain itu yang bersambung dengan tubuh orang yang shalat...”[2]


Berkata al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah :


ولا ‌تجب ‌مباشرة ‌المصلى ‌بشىء ‌من ‌هذه ‌الأعضاء


“Dan tidak wajib secara langsung meletakkan anggota badan dengan sesuatu (yang menjadi tempat sujud).”[3]


Hal ini didasarkan kepada adanya dalil-dalil yang menunjukkan keabsahan sujud dalam kondisi seperti yang disebutkan. Anas radhiyallahu anhu, dia berkata :


كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمَكِّنَ جَبْهَتَهُ مِنَ الأْرْضِ يَبْسُطُ ثَوْبَهُ فَيَسْجُدُ عَلَيْهِ


 “Kami dahulu shalat bersama Rasûlullâh ﷺ pada waktu sangat panas. Jika seseorang dari kami tidak mampu meletakkan dahinya ke tanah, dia menghamparkan bajunya lalu bersujud di atasnya.” (HR. Bukhari)


Dan berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma :


لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ وَهُوَ يَتَّقِي الطِّينَ إِذَا سَجَدَ بِكِسَاءٍ عَلَيْهِ يَجْعَلُهُ دُونَ يَدَيْهِ إِلَى الأْرْضِ إِذَا سَجَدَ


“Aku telah melihat Rasûlullâh ﷺ pada suatu hari yang hujan, beliau menjaga diri dari tanah ketika bersujud dengan selimutnya, beliau menjadikannya di bawah tangannya ke bumi jika bersujud.” (HR. Ahmad)


   Dan juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersujud di atas lipatan sorban. (HR. Abdurrazaq)


B. Tidak sah menurut Syafi’iyyah


Sedangkan madzhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa sujud dengan kening terhalang secara keseluruhan oleh kain atau benda apapun menyebabkan tidak sahnya sujud tersebut, sebagian riwayat menyebutkan ini juga pendapat imam Ahmad bin Hanbal.


Berkata al Imam Nawawi rahimahullah :


في السجود على كمه وذيله ويده وكور عمامته وغير ذلك مما هو متصل به: قد ذكرنا أن مذهبنا أنه لا يصح سجوده علي شئ من ذلك


“Bersujud dengan menutup telapak tangan tertutup lengan baju, atau juluran surban imamah dan yang selain itu yang bersambung dengannya (tubuh orang yang shalat) telah kami sebutkan bahwa dalam madhzab kami (syafi’iyyah) itu semua menyebabkan sujudnya tidak sah.”[4]


Pendapat ini didasarkan kepada keumuman dalil : “Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan (yaitu) dahi –dan beliau menunjuk hidungnya dengan tangannya-, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Juga sebuah hadits :


إِذَا سَجَدْتَ، فَمَكِّنْ جَبْهَتَكَ


“Ketika kamu sujud, tetapkanlah keningmu.” (HR. Ibnu Hibban)


Kalangan syafi’iyyah memaknai hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh jumhur diatas, dilakukan karena adanya udzur bukan kondisi normal, sebagaimana dijelaskan dalam salah satu hadits itu sendiri : “Kami dahulu shalat bersama Rasûlullâh ﷺ pada waktu sangat panas. Jika seseorang dari kami tidak mampu meletakkan dahinya ke tanah, dia menghamparkan (ujung-red) bajunya lalu bersujud di atasnya.” (HR. Bukhari)[5]


2. Penghalang menutupi sebagian dahi


Adapun bila kain surban, kopiah  atau rambut hanya menutupi sebagian kening/ dahi, tidak secara keseluruhan, ulama sepakat bahwa ini tidak merusak keabsahan sujud tersebut.


Berkata al Imam Asy Syafi’i rahimahullah :


ولو سجد على ‌بعض ‌جبهته دون جميعها كرهت ذلك له ولم يكن عليه إعادة


“Kalau seandainya seseorang bersujud dengan  sebagian  penghalang ke tempat sujudnya  maka itu makruh, namun tidak perlu mengulang sujudnya.”[6]


Berkata imam an Nawawi rahimahullah : “Tetapi bila masih ada sebagian dahi yang terbuka sehingga ada sebagian yang menempel pada tempat sujud. maka sujudnya sah. Namun  sunnahnya terbuka semua dan bisa menempel dengan sempurna.”[7]


Kesimpulan


Sujud dengan menutup semua dahi tidak sah menurut sayfi’iyyah namun tetap sah menurut mayoritas ulama. Namun sebaiknya membuka kening sebagian ketika sujud. Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :


المستحب مباشرة المصلى بالجبهة واليدين ليخرج من الخلاف ويأخذ بالعزيمة


“Dan dianjurkan bagi orang yang shalat secara langsung (tanpa ada penghalang) meletakkan dahi dan kedua tangannya demi keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) dan mengambil ‘azimah (kesungguhan/kehati-hatian dalam beragama)...”[8]


Wallahu a’lam.

_________

[1] Fiqh Manhaji (1/35).

[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (24/208)

[3] Al Mughni (2/197)

[4] Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (3/425).

[5] I’anah at-Thalibiin (I/194)

[6] Al Umm (1/136),

[7] Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab (1/ 145)

[8] Al Mughni (1/561)

Jumat, 12 Agustus 2022

CELAAN BERBANGGA DIRI


*Materi ke 220 hal. 409-410*


بسم الله الرحمن الرحيم


1. Amal yang sedikit kadang kala mengungguli amal yang banyak. Sebab amalan yang banyak orang akan menganggapnya banyak dan timbullah sifat ujub pada dirinya (berbangga diri) sehingga pahala amal itu pun terhapus sebab ujub.¹ <atau yang semakna dengan pembahasan ini> 


2. Semua amal kebaikan hamba tidak akan menyamai sujudnya para malaikat, bagaimana bisa manusia membanggakan diri dengan ibadahnya?! <atau yang semakna dengan pembahasan ini> 


3. Telah datang sebuah hadits bahwasanya Allah mempunyai para malaikat yang selalu ruku', sujud dan bertasbih semenjak mereka diciptakan. Mereka dalam beribadah tidak pernah loyo, dan kesibukan mereka hanyalah ibadah. Jika hari kiamat telah tiba, mereka berkata: _ 'Engkau Maha Suci, segala puji milik-Mu. Kami masih belum mengenal-Mu dengan sebenar-benarnya ma'rifat, dan kami belum beribadah kepada-Mu dengan sebenar-benarnya ibadah"_. <an-Nashaih ad Diniyyah: 31> 


4. معصية أورثت ذلا وافتقارا خير من طاعة أورثت عزا واستكبارا.

_Perbuatan maksiat yang menimbulkan rasa rendah diri dan hina, itu lebih baik daripada ketaatan yang menyebabkan rasa mulia dan sombong_. <al Hikam: 1/72> 


5. Diriwayatkan dari Al-Kholil bin Ayyub, bahwasanya ada seorang lelaki di bani Israil dijuluki dengan: _"orang keji bani israil"_ karena banyaknya kerusakan yang telah diperbuatnya. Dia bertemu dengan lelaki lainnya dari bani israil yang dikenal dengan _'abid_ (orang yang ahli ibadah) bani Israil" sebuah awan pun selalu menaunginya. Si orang keji ini berkata pada dirinya: _"Aku adalah orang keji dari bani Israil, sedangkan lelaki ini adalah ahli ibadahnya bani Israil, jika aku duduk berdekatan dengannya, mudah mudahan Allah memberiku rahmat-Nya berkat sang abid ini"_. Lalu si keji itu mendekati sang abid. Si abid berkata kepada dirinya: _"Aku adalah orang yang ahli ibadah di bani Israil, sedangkan lelaki ini adalah orang keji bani Israil sedang duduk di dekatku"_. Lalu si abid pun memandang rendah si orang keji seraya berkata: _"Pergi dan menjauhlah dariku"_. Allah pun menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi di saat itu yang berbunyi: _"Suruh keduanya (si keji dan si abid) untuk beramal mulai dari awal lagi, karena Aku (Allah) telah mengampuni si keji dan menghapus pahala ibadah si abid"_. Dalam hadits yang lain: _"Maka awan yang menaungi si abid pun berpindah menaungi si keji"_. <Syarh al-Hikam: 1/73>

__________________


¹ Disebutkan dalam kitab «Bughyatul Mustarsyidin»: Terkadang amal perbuatan yang sedikit bisa mengungguli amal perbuatan yang banyak, di antaranya: Seperti mengqashar shalat lebih utama daripada menyempurnakannya bagi yang memenuhi syarat, dan seperti shalat witir 3 rakaat lebih utama daripada 5 rakaat, 7 rakaat atau 9 rakaat menurut pendapat imam Ghozali, dan pendapat ini ditolak ulama yang lain. Seperti juga shalat sekali dengan berjamaah lebih utama daripada mengulang-ulang shalat sampai 25 kali dengan sendirian jika kita katakan boleh. Juga seperti mempercepat shalat 2 rakaat sunnah fajar lebih utama daripada memanjangkannya. Juga seperti shalat 2 rakaat 'Id (Idul Fitri/Idul Adha) lebih utama daripada shalat 2 rakaat gerhana dengan cara-caranya yang sempurna. Juga seperti shalat 1 rakaat witir lebih utama daripada shalat 2 rakaat fajar dan tahajud di malam hari walaupun banyak.


*M. Ubaidillah Arsyad*

*Pati, Sabtu 2 Ramadhan 1441 H.*


اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه أجمعين

Agen pulsa all operator

 SUPER TELKOMSEL PROMO ======================= 🍒 TMP5 = 4.975 🍒 TMP10 = 9.975 SUPER INDOSAT PROMO =============== 🧀 IMS5 = 5.395 🧀 IMS10...